![]() |
image source: google.com |
Hukum positif Indonesia memberikan definisi Surat Berharga dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perbankan. Disebutkan bahwa Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari Penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
Dalam buku 'Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga' karangan Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dijabarkan bahwa surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut.
Diantara 'surat berharga' dengan 'surat yang berharga' terdapat beberapa hal yang membuatnya berbeda satu sama lain. Pada 'surat berharga' memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai alat pembayaran (alat tukar uang), sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana), dan sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi). Selain itu penerbitan dari surat berharga memiliki tujuan sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang.
Sedangkan 'surat yang berharga' diterbitkan bukan sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, melainkan sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas pembayaran 'surat yang berharga' merupakan sekedar sebagai alat bukti diri bagi pemegang bahwa dia sebagai orang yang berhak atas apa yang disebutkan, atau untuk menikmati yang disebutkan di dalam surat itu.
Pada 'surat yang berharga', bagi yang berhak berdasarkan surat tersebut, apabila surat bukti diri itu lepas dari penguasaannya, ia masih dapat memperoleh barang atau haknya itu dengan menggunakan alat bukti lain. Sebagai contoh apabila surat penitipan sepeda motor (karcis parkir) hilang, maka yang berhak masih dapat mengakui spede motornya tersebut dengan menunjukkan STNK atau bahkan BPKB bila diperlukan. Hal ini berbeda dengan 'surat berharga' dimana pada 'surat berharga' apabila suratnya itu lepas dari penguasaan pemegangnya, yang bersangkutan sama sekali tidak dapat mewujudkan hak tagihnya itu.
yang termasuk kedalam 'surat berharga' sebagai contohnya antara lain adalah surat pengakuan hutan, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatif dan surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit (Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998). Sedangkan yang menjadi contoh dari surat yang berharga yaitu ijazah, piagam, sertifikasi, akta otentik, dan lain-lain,
Daftar pustaka:
- Muhammad Abdulkadir, 'Hukum Dagang tentang Surat Berharga', Bandung, PT. Citra Adiya CItra Bakti
Ayo LIKE dan SHARE:
No comments:
Post a Comment