Pada tahap awal pembentukannya,
Komisi Yudisial (KY) mendapat sambutan positif dari kalangan Mahkamah Agung
(MA). Setidaknya, sambutan itu dapat dibuktikan Pidato Ketua MA Bagir Manan
pada Rakernas Mahkamah Agung (MA), Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan
Tingkat Pertama Kelas IA se-Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005.
Pada kesempatan itu Bagir Manan mengatakan: “Sekarang kita mempunyai KY yang
saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji
hakim.”
Namun ketegangan mulai muncul ketika
KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus penyelesaian sengketa
penetapan hasil pemilihan kepala daerah kota Depok. Sebagaimana diketahui,
Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan hasil pemilihan Walikota Depok. Menilai
ada kejanggalan dalam penyelesaian kasus Depok, KY memeriksa hakim yang
menangani kasus tersebut. Menemukan sejumlah kejanggalan, KY merekomendasikan
MA untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana
Juwana.
Dalam rekomendasi itu, KY memberikan
tenggang waktu satu bulan agar MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY
(Kompas, 08/09-2005). Tidak hanya pada kasus Depok, KY menenggarai terjadi misconduct dalam putusan illegal
logging Pontianak dan vonis kasus dugaan korupsi dana perumahan DPRD Banten.
Bahkan dalam kasus Edwar C.W. Neloe KY juga memeriksa anggota dan ketua majelis
hakim perkara tersebut karena memutus Neloe dengan putusan bebas.
Sepak-terjang KY dalam melakukan
pengawasan mendapat perlawanan terbuka dari kalangan hakim. Perlawanan itu
dimulai dalam bentuk mempersoalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan,
pengabaian beberapa rekomendasi KY yang disampaikan kepada MA, dan beberapa
tindakan lain yang menunjukkan pembangkangan terhadap KY. Puncak dari itu
semua, mayoritas Hakim Agung (31) orang mengajukan permohonan hak menguji
materiil pasal-pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta
pasal-pasal pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim. Melalui Putusan Nomor
005/PUU-IV/2006, MK mengabulkan hampir semua permohonan tersebut. Lalu,
bagaimana memperkuat pengawasan KY setelah putusan MK? Pertanyaan ini menjadi
penting dikemukakan karena Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Implikasi Putusan MK
Kalau ditelaah secara mendalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, sulit
dibantah bahwa putusan tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam upaya
pembaruan peradilan di negeri ini. Diantara sejumlah implikasi yang cukup
relevan dengan tulisan ini dikemukakan berikut ini.
Pertama, judicial corruption. Salah satu
kekhawatiran banyak kalangan yang concern
terhadap dunia peradilan adalah
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut akan semakin menyuburkan praktek
korupsi dalam proses peradilan (judicial
corruption). Meminjam bahasa Denny Indrayana (2006), Putusan MK Nomor
005/PUU-IV/2006 akan menumbuh-kembangkan praktik mafia peradilan. Selama ini,
sudah menjadi rahasia umum dalam penyelesaian sebuah perkara, permainan uang
dapat dikatakan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Tegasnya, jual-beli hukum
sudah mulai terjadi sejak dari proses penyelidikan sampai ke tahap pelaksanaan
putusan hakim.
Kedua, terjadi kekosongan hukum
(ditingkat undang-undang) mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Bisa jadi,
denngan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, pengawasan hakim kembali mengandalkan
pengawasan internal. Padahal, selama ini pengawasan internal dianggap tidak
optimal dalam mengawasi praktek menyimpang di kalangan hakim. Kalau dibaca
risalah perubahan UUD 1945, salah satu alasan mendasar (raison d’etre) membentuk KY karena pengawasan internal sulit
diandalkan untuk menjaga perilaku hakim. Karenanya, perlu ada pengawasan
eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Ketiga, Hakim Konstitusi tidak lagi
berada dalam ranah pengawasan KY. Dengan putusan tersebut, terjadi diskriminasi
dalam pengawasan hakim karena Hakim Konstitusi dikecualikan dari pengawasan KY.
Padahal, jika dibaca semangat pembaruan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945,
semua hakim berada dalam pengawasan KY. Dengan mengeluarkan Hakim Konstitusi
dari pengawasan KY, pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan: siapa yang
seharusnya mengawasi sembilan orang hakim tersebut? Padahal dalam posisi MK
sebagai the guardian of the constitution
dengan kekuasaan yang amat besar, Hakim Konstitusi juga berpotensi melanggar
prinsip during good behaviour.
Dengan
menyatakan Hakim Konstitusi tidak menjadi bagian pengawasan KY, banyak kalangan
menilai bahwa Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 menabrak asas “seorang tidak
dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri” (nemo
judex idoneus in propria causa). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara,
MK tidak boleh menyimpanginya. Apalagi, Pasal 29 ayat (5) UU No 4/2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan, seorang hakin atau panitera wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri
maupun atas permintaan pihak yang berpekara.
Karena
dainggap melanggar salah satu asas dalam hukum acara, banyak kalangan mulai
mempertanyakan eksistensi MK. Bahkan di DPR, sebagian kalangan mulai
mewacanakan untuk meninjau ulang kewenangan MK. Misalnya, berdasarkan hasil
penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2005), banyak catatan atau
ketidaksukaan yang nyata dari anggota DPR tersebut: “Bagaimana mungkin putusan
sembilan orang bisa mengalahkan produk 550 orang?” (Bivitri Susanti, 2006).
Meski hampir tidak mungkin mengurangi kewenangan MK ditingkat undang-undang,
menguatnya wacana ini di kalangan legislator harus tetap dijadikan catatan
tersendiri.
Hubungan MA-KY: Suatu Mekanisme Check and Balances
Kunci dari keberadaan KY adalah
menjaga mekanisme check and balances dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Oleh
karena itu, walaupun KY bukan sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman,
tetapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. KY merupakan lembaga
negara baru yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Lembaga ini seharusnya memiliki
kedudukan yang setara dengan MA. Namun, hubungan yang konstruktif itu terjalin
apabila, kewenangan KY tidak memeriksa bunyi keputusan hakim, tetapi memeriksa
proses pengambilan keputusan sesuai tidak dengan hukum acara, moral, perilaku
dan ada atau tidak unsur-unsur penyuapan atau KKN.
Sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya dalam Pasal 24B UUD 1945, terbentuknya KY tidak
lain dimaksudkan untuk menjamin terciptanya rekruitmen hakim agung yang
kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitas sebagai seorang hakim,
memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta
menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Perekrutan hakim agung selama
ini dianggap terlalu “politis” dan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim yang dijaga dan ditegakkan oleh kalangan internal kehakiman
sendiri dianggap sebagai dua hal yang menjadi kendala bagi terciptanya gagasan
negara hukum, baik dalam tradisi rule of
law maupun rechstaat, yaitu
kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Disamping
itu, kehadiran KY dimaksudkan agar independensi kekuasaan kehakiman tidak
berarti kekuasaan yudikatif yang tidak terkontrol. Tanpa pengontrol dan
pengimbang dari lembaga eksternal bisa mengarah kepada tirani kekuasaan
yudikatif, atau format ketatanegaraan yang sama buruknya dengan tirani
eksekutif dan tirani legislatif.
No comments:
Post a Comment