Wednesday, September 28, 2016

Komisi Yudisial

Pada tahap awal pembentukannya, Komisi Yudisial (KY) mendapat sambutan positif dari kalangan Mahkamah Agung (MA). Setidaknya, sambutan itu dapat dibuktikan Pidato Ketua MA Bagir Manan pada Rakernas Mahkamah Agung (MA), Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA se-Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005. Pada kesempatan itu Bagir Manan mengatakan: “Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji hakim.”

Namun ketegangan mulai muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah kota Depok. Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan hasil pemilihan Walikota Depok. Menilai ada kejanggalan dalam penyelesaian kasus Depok, KY memeriksa hakim yang menangani kasus tersebut. Menemukan sejumlah kejanggalan, KY merekomendasikan MA untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana.

Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggang waktu satu bulan agar MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY (Kompas, 08/09-2005). Tidak hanya pada kasus Depok, KY menenggarai terjadi misconduct dalam putusan illegal logging Pontianak dan vonis kasus dugaan korupsi dana perumahan DPRD Banten. Bahkan dalam kasus Edwar C.W. Neloe KY juga memeriksa anggota dan ketua majelis hakim perkara tersebut karena memutus Neloe dengan putusan bebas.

Sepak-terjang KY dalam melakukan pengawasan mendapat perlawanan terbuka dari kalangan hakim. Perlawanan itu dimulai dalam bentuk mempersoalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, pengabaian beberapa rekomendasi KY yang disampaikan kepada MA, dan beberapa tindakan lain yang menunjukkan pembangkangan terhadap KY. Puncak dari itu semua, mayoritas Hakim Agung (31) orang mengajukan permohonan hak menguji materiil pasal-pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta pasal-pasal pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim. Melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, MK mengabulkan hampir semua permohonan tersebut. Lalu, bagaimana memperkuat pengawasan KY setelah putusan MK? Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan karena Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Implikasi Putusan MK

            Kalau ditelaah secara mendalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, sulit dibantah bahwa putusan tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam upaya pembaruan peradilan di negeri ini. Diantara sejumlah implikasi yang cukup relevan dengan tulisan ini dikemukakan berikut ini.

            Pertama, judicial corruption. Salah satu kekhawatiran banyak kalangan yang concern  terhadap dunia peradilan adalah Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut akan semakin menyuburkan praktek korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption). Meminjam bahasa Denny Indrayana (2006), Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 akan menumbuh-kembangkan praktik mafia peradilan. Selama ini, sudah menjadi rahasia umum dalam penyelesaian sebuah perkara, permainan uang dapat dikatakan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Tegasnya, jual-beli hukum sudah mulai terjadi sejak dari proses penyelidikan sampai ke tahap pelaksanaan putusan hakim.

            Kedua, terjadi kekosongan hukum (ditingkat undang-undang) mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Bisa jadi, denngan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, pengawasan hakim kembali mengandalkan pengawasan internal. Padahal, selama ini pengawasan internal dianggap tidak optimal dalam mengawasi praktek menyimpang di kalangan hakim. Kalau dibaca risalah perubahan UUD 1945, salah satu alasan mendasar (raison d’etre) membentuk KY karena pengawasan internal sulit diandalkan untuk menjaga perilaku hakim. Karenanya, perlu ada pengawasan eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

            Ketiga, Hakim Konstitusi tidak lagi berada dalam ranah pengawasan KY. Dengan putusan tersebut, terjadi diskriminasi dalam pengawasan hakim karena Hakim Konstitusi dikecualikan dari pengawasan KY. Padahal, jika dibaca semangat pembaruan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, semua hakim berada dalam pengawasan KY. Dengan mengeluarkan Hakim Konstitusi dari pengawasan KY, pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan: siapa yang seharusnya mengawasi sembilan orang hakim tersebut? Padahal dalam posisi MK sebagai the guardian of the constitution dengan kekuasaan yang amat besar, Hakim Konstitusi juga berpotensi melanggar prinsip during good behaviour.

            Dengan menyatakan Hakim Konstitusi tidak menjadi bagian pengawasan KY, banyak kalangan menilai bahwa Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 menabrak asas “seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri” (nemo judex idoneus in propria causa). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Apalagi, Pasal 29 ayat (5) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, seorang hakin atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berpekara.

            Karena dainggap melanggar salah satu asas dalam hukum acara, banyak kalangan mulai mempertanyakan eksistensi MK. Bahkan di DPR, sebagian kalangan mulai mewacanakan untuk meninjau ulang kewenangan MK. Misalnya, berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2005), banyak catatan atau ketidaksukaan yang nyata dari anggota DPR tersebut: “Bagaimana mungkin putusan sembilan orang bisa mengalahkan produk 550 orang?” (Bivitri Susanti, 2006). Meski hampir tidak mungkin mengurangi kewenangan MK ditingkat undang-undang, menguatnya wacana ini di kalangan legislator harus tetap dijadikan catatan tersendiri.

Hubungan MA-KY: Suatu Mekanisme Check and Balances

            Kunci dari keberadaan KY adalah menjaga mekanisme check and balances  dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, walaupun KY bukan sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, tetapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. KY merupakan lembaga negara baru yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Lembaga ini seharusnya memiliki kedudukan yang setara dengan MA. Namun, hubungan yang konstruktif itu terjalin apabila, kewenangan KY tidak memeriksa bunyi keputusan hakim, tetapi memeriksa proses pengambilan keputusan sesuai tidak dengan hukum acara, moral, perilaku dan ada atau tidak unsur-unsur penyuapan atau KKN.

            Sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya dalam Pasal 24B UUD 1945, terbentuknya KY tidak lain dimaksudkan untuk menjamin terciptanya rekruitmen hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitas sebagai seorang hakim, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Perekrutan hakim agung selama ini dianggap terlalu “politis” dan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dijaga dan ditegakkan oleh kalangan internal kehakiman sendiri dianggap sebagai dua hal yang menjadi kendala bagi terciptanya gagasan negara hukum, baik dalam tradisi rule of law maupun rechstaat, yaitu kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).



            Disamping itu, kehadiran KY dimaksudkan agar independensi kekuasaan kehakiman tidak berarti kekuasaan yudikatif yang tidak terkontrol. Tanpa pengontrol dan pengimbang dari lembaga eksternal bisa mengarah kepada tirani kekuasaan yudikatif, atau format ketatanegaraan yang sama buruknya dengan tirani eksekutif dan tirani legislatif.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...