Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar. (Koenjtaraningrat)
Menurut
J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan
dibedakan menjadi tiga, yaitu : gagasan, aktivitas, dan artefak.
1. Gagasan (Wujud
ideal) : Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
2. Aktivitas
(tindakan): Aktivitas
adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
3. Artefak (karya): Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan
kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan
ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak)
manusia.
Artefak hasil
dari manusia dalam masyarakat sangat bermacam-macam jenis maupun bentuknya.
Setiap artefak tersebut memiliki fungsi masing-masing untuk menunjang kehidupan
manusia maupun hanya sekedar ciptaan kesenian semata. Beberapa diantaranya
memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan kebudayaan manusia dalam masyarakat
masing-masing. Salahsatu contoh dari karya tersebut adalah senjata tradisional.
Dalam setiap
masyarakat tertentu ditemukan beraneka macam jenis maupun bentuk senjata
tradisional. Keanekaragaman tersebut dilatarbelakangi oleh faktor karakteristik
kebudayaan maupun lingkungan masyarakat masing-masing. Bahkan sebuah senjata
tradisional dapat juga mencerminkan dengan kuat unsur kebudayaan masyarakat
tertentu. Beberapa senjata ada pula yang dianggap keramat dan merupakan pusaka
yang penting.
Di
Indonesia kita dapat menemukan beranekaragam senjata tradisional dari
masing-masing kebudayaan masyarakat tertentu. Sebagian besar senjata
tradisional tersebut dianggap keramat dan memiliki identitas kebudayaan yang
kuat. Berikut adalah beberapa senjata tradisional yang ada di Indonesia seperti
Kujang, Parang Salawaku, Celurit, Rencong, dan lain sebagainya.
Kujang

Kujang adalah sebuah senjata unik
dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat
dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar
20 sampai 25 cm dan beratnya
sekitar 300 gram.
Kujang
merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan
juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas,
baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng
karesian pupuh XVII,
kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian
masyarakat Sunda.
Kujang dikenal
sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta
mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah
"kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang.
Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa.
Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil
dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti,
sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau
menghindari bahaya/penyaki. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang
digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam
sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di
atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat
disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi
masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini
tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang
mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang
berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu
hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan
masyarakat Jawa Barat (Sunda).
Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di
dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang
organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai
sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh
Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu
Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya
sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di
beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat
pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan
hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di
Sukabumi.
Terlahirnya sebuah senjata (alat
membunuh dan berburu) pada mulanya tidak terlepas dari fungsi pakainya
yang memang sangat dibutuhkan pada zamannya. la dapat dijumpai dalam
bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang dikenal sekarang. Dari yang
berbahan dasar tidak awet sampai kepada material yang tahan lama. Umumnya hasil
penelitian para arkeolog menemukan bahwa artefak senjata itu pada awalnya
sederhana. Alat ini dibuat dari batu-batuan, kayu-kayuan, gading dan
tulang-belulang yang keras, yang dapat dipertajam. Bentuknya, umumnya
sederhana. Kemudian ditemukan material logam yang lebih keras lagi dan lebih
efektif untuk menggantikan alat yang sederhana itu. Penemuan logam ini,
memperlihatkan taraf penemuan dan pemakaian logam yang berbeda-beda pula. Hal
ini memperlihatkan tingkat teknologi mengolah logam yang berbeda titik cairnya,
mulai dari yang rendah sampai yang tinggi titik cairnya. Hal ini menginspirasi
para arkeolog dan sosiolog untuk membagi temuannya berdasarkan tingkatan ini .
Misalnya Soekmono yang membagi secara kronologiy temuan logam ini atas tiga
tingkatan zaman yaitu (1) zaman tembaga, (2) zaman
perunggu, dan (3) zaman besi (Soekmono, 993:61). Dengan
ditemukannya cara mengolah besi yang bersifat keras, kuat dan awet. Maka dapat
diciptakan senjata seperti ujung panah, tombak, pisau, parang, pedang, badik,
rencong, kujang, keris dan lain sebagainya yang lebih bervariasi bentuknya,
karena sifatnya yang keras itu.
Skin,
Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan
Bagi masyarakat Madura, Celurit tak
dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi mereka hingga saat ini. Senjata
tradisional ini memiliki bilahnya berbentuk melengkung bentuk bilah inilah yang
menjadi ciri khasnya. Celurit menjadi senjata khas suku Madura yang biasa
digunakan sebagai senjata carok.
Rencong
(Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol
kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat
Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebaga i
simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap
pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri.
Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri,
rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir
di semua toko kerajinan khas Aceh.
Parang
Salawaku
Parang
Salawaku adalah
sepasang senjata
tradisional dari Maluku. Parang Salawaku terdiri dari Parang
(pisau panjang) dan Salawaku (perisai) yang pada masa lalu adalah senjata yang
digunakan untuk berperang. Di
lambang pemerintah kota Ambon, dapat dijumpai pula Parang Salawaku. Bagi masyarakat Maluku, Parang
dan Salawaku adalah simbol kemerdekan rakyat.
Senjata ini
dapat disaksikan pada saat menari Cakalele, yaitu
tarian yang menyimbolkan kekuatan kaum pria Maluku. Parang di tangan kanan
penari melambangkan keberanian sementara salawaku di tangan kiri melambangkan
perjuangan untuk mendapatkan keadilan.
Parang
Salawaku merupakan kerajinan tangan khas orang Maluku. Parang dibuat dari
besi yang ditempa dengan ukuran bervariasi, biasanya antara 90-100 cm. Pegangan
parang terbuat dari kayu besi atau kayu gapusa. Sementara itu,
salawaku dibuat dari kayu keras yang dihiasi kulit kerang laut.
Kelewang
K(e)lewang adalah pedang bergaya golok bersisi satu dari
Indonesia. Dalam hal ukuran, berat dan bentuk kelewang adalah pertengahan antara
golok dan kampilan. Ragam pedang berbeda menurut budaya di Indonesia ada
kelewang bermata lurus. Namun sebagian besar kelewang bermata lengkung
A. Kelewang Aceh
Selama Perang Aceh, terbukti kelewang milik orang Aceh amat
efektif dalam pertarungan satu lawan satu dengan KNIL, sehingga mereka
menggunakan hartvanger (sejenis pedang pendek) yang berat, juga disebut
kelewang, untuk melawannya. Pasukan bergerak yang bersenjatakan karabin dan
kelewang berhasil menekan perlawanan Aceh ketika infanteri tradisional dengan
bedil dan bayonet gagal. Sejak itu hingga tahun 1950-an, KNIL, AD, AL, dan
polisi Belanda menggunakan cutlass bernama kelewang.
B. Kelewang Sasak (NTB).
Ciri unik terutama pada bentuk bilah yang sedikit membengkok.
Pangkal hulu memakai bahan tanduk dan umum-nya di bungkus logam bahan perak.
Hulu tipe ini disebut Garuda Mungkur. Di etalase museum NTB terdapat 4 bilah
pedang. Tanpa di lengkapi sarung/gandar. Pada sisi bilah di hiasi grafir
kaligrafi huruf arab. Konon dipakai sebagai senjata dalam epos sejarah
perlawanan terhadap kaum penjajah, Belanda. Bisa jadi rangkaian ayat copas
kitabullah yang mungkin menebar aura, bagi penyandang-nya akan tampil lebih
berani di medan laga. Entah sekedar kaligrafi ataupun berupa perca racik ajimat.
Di
katakan sebagai benda lama yang mungkin terlahir di kisar rentang tahun
1700-1800. Tehnik grafiran yang tertera di jajaran pedang tadi terlalu rapi.
Mestinya jika di melihat perkembangan dan tehnologi budaya menulis saat itu,
sangat kontras. Antara bilah yang legam dan kerikan/grafiran tehnik dangkal
terasa ada beda warna, Huruf arab (hijaiyah) terliat grafir baru. Terlihat
nuansa alur terang. Mestinya kalau grafiran tipe lampau biasa agak tidak
terlalu rapi. Secara mudah terbaca dan sesuai edar waktu tetap menyatu dengan
warna bilahnya.
Tafsiran kedua, beralih pada pengamatan berbagai jenis pedang Sasak yang masih
ditemui di-luaran. Baik yang masih tersimpan oleh aseli pemiliknya maupun yang
beredar di tangan para penjual barang antic. Sangat jarang, bahkan tidak
terlihat bilah pedang sasak memiliki grafiran kaligrafi arab. Semua
selalu bilah polos. Hanya dibedakan pada varian pamor bilah saja. Hasil pola
tehnik tempa oleh para empu pembuat-nya. Di kesempatan lain, pernah dikonfirmasi oleh seseorang
Lombok Timur, yang selain gandrung di sinyalir beberapa senjata khas Lombok
berasal dari sana. Penjelasan singkat. di wilayah sakra konon pedang ini
disebut Cacaran.
Namun bagi kalangan komunitas bali, cacaran merujuk pada
keris dengan dapur tersendiri. Debut lokal hindu bali yang menyebut dapur
pasopati. Entahlah mana yang benar. Karena sesuai perkembangan nuansa budaya
begitu banyak faktor akulturasi. Sehingga bisa jadi turut mewarnai juga dalam
perkembangan benda etnografis khas sasak-Lombok.
Piso Gaja Dompak
Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional yang berasal dari Sumatera
Utara. Nama piso gaja dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang
berfungsi untuk memotong atau menusuk, dan bentuknya runcing dan tajam. Bernama
gaja dompak karena berarti ukiran
berpenampang gajah pada tangkai senjata tersebut.
Piso Gaja Dompak, senjata khas suku batak merupakan pusaka kerajaan batak.
Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam perkembangan
kerajaan Batak. Senjata ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja.
Mengingat senjata ini juga merupakan sebuah pusaka kerajaan, senjata ini tidak
diciptakan untuk membunuh atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka,
senjata ini dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang akan memberikan kekuatan
spiritual kepada pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan
dan kepemilikan senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja atau dengan kata
lain senjata ini tidak dimiliki oleh orang di luar kerajaan.
Belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak
menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun, dari hasil penelusuran penulis Piso
Raja Dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamaraja I. Hal
ini berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos berasal dari tradisi
lisan yang tercatat dalam aksara.
Berkisah tentang
seorang bernama Bona Ni Onan, putra bungsu dari Raja Sinambela. Dikisahkan
sewaktu pulang dari perjalanan jauh, Bona Ni Onanmen dapati istrinya Boru
Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada
suatu malam ia bermimpi didatangi Roh. Roh itu mengatakan bahwa anak dalam
kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak
anak tersebut akan menjadi raja yang bergelar Sisingamaraja.
Bona
Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya
pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba),
ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah
mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan
roh Batara Guru.
Masa
kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan
dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal
yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan
sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.
Di
masa remaja, Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti
untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, ia menunggu
sambil memakan makanan yang suguhkan oleh istri raja. Ketika itu secara tidak
sengaja ia mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti moncong
babi.
Raja
Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui
raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan
syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba,
Manghuntal pun menurut. Setelah itu Manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan
membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah
putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan sebuah
tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Konon,
Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang
yang memiliki kesaktian dan Manghuntal bisa membukanya. Pasca itu Manghuntal benar-benar
menjadi raja dengan Sisingamaraja I. sampai saat ini
masyarakat Batak masih mempercayai mitos ini.
Selain
sebagai pusaka yang begitu dihormati dan dikultuskan, Piso Gaja Dompak ini
memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini,
dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman
berpikir serta kecerdasan intelektual. Tajam melihat permasalahan dan peluang,
juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak.
Tersirat
bahwa pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam
melihat sebuah persoalan. Selalu melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan
dan mengambil suatu tindakan sebagai wujud dari 'kecerdasan dan ketajaman
berpikir dan meihat persoalan'.
Ukiran
berpenampang gajah diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak
dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamaraja I. Piso Gaja Dompak
adalah lambing kebesaran pemimpin batak, pemimpin batak memiliki kecerdasan
intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan.
Menurut
hasil wawancara dengan cucu Sisingamaraja XII yaitu Raja Napatar, salah satu
sumber menyebutkan bahwa Piso Gaja Dompak berada di Museum Nasional. Sementara
sumber lain menyebutkan bahwa senjata atau pusaka Piso Gaja Dompak berada di
salah satu museum di Belanda bersama dengan stempel kerajaan
Sisingamaraja.
Sumpitan
Sumpit atau sumpitan (bahasa Kalimantan Tengah: sipet) adalah
senjata yang digunakan untuk berburu maupun dalam pertempuran terbuka atau
sebagai senjata rahasia untuk pembunuhan diam diam. Penggunaan sumpit yaitu
dengan cara ditiup.
Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki
keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan
tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu
kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat
mencapai 200 meter. Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku
Dayak Indonesia dan suku suku pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya
berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang ditembak melesat ke
sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai
senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari
ikan buntal.
a. sejarah
Pada zaman penjajahan
di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan
teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya
mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut
terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat
pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke
medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh
atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang
disebut damek.
b. struktur
Sumpit
tradisional terdiri tabung bambu atau kayu yang panjangnya 1-3 m, Sumpit
dilengkapi dengan anak sumpit dengan bentuk bulat kira-kira diameternya kurang
dari 1 cm. Anak sumpit (damek) dapat terbuat dari bambu yang salah satu
ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu yang massanya ringan
(dari kayu pelawi). Ini berfungsi supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus
atau sebagai penyeimbang saat lepas dari buluh. Sedangkan ujung yang lain
runcing dan biasanya diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan. Racun
terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan dan sampai saat ini masih belum ada
penawar racunnya. Sumpit digunakan dengan cara ditiup. Kuat tidaknya napas
penyumpit akan menentukan sejauh mana jarak anak sumpit dapat melesat ke
sasarannya
c. Sumpit dan anak sumpit
Bagian
pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada bagian inilah anak sumpit
dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak sumpit memiliki ketergantungan
yang tinggi (saling mendukung). Walaupun buluhnya bagus tetapi anak sumpit
dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang memuaskan serta sebaliknya.
Artinya kedua saling beperan penting dalam ketepatan mengenai sasaran/mangsa
walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran juga sangat berperan penting
disini.
Untuk
mencapai sasaran yang tepat dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai
dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari
sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang
disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada
semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju
sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat
mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan
serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking.
Keris
Minangkabau
logam
besi adalah bahan utama dari keris. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keris ini
juga muncul lebih kemudian, diperkirakan sejalan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan
di Nusantara ini yang membutuhkan bahan besi untuk persenjataan.
Namun,
Pada masa kini, keris dipakai sebagai bagian dari pakaian penghulu
Minangkabau, . Mereka memakainya ketika menggelar upacara adat. Keris dijadikan
benda ikatan perjanjian adat perkawinan saat melaksanakan peminangan (timbang tando) di samping benda
lainnya seperti " cincin pertunangan, kain songket, dan sebagainya. Di berbagai nagari Minangkabau keris juga merupakan bagian dari seperangkat
pakaian marapulai (pengantin
pria) yang disisipkan di samping pinggang pengantin struktur
Dari hasil analisis dan kajian
bentuk keris Minangkabau dapat diketahui bahwa keris Minangkabau terdiri
atas dua tipe yaitu tipe bilahan lurus dan berkelok. Tipe Lurus
disebut tarapang dan atau sindorik. Kemudian tipe berkelok
dinamakan karieh.
Sarung
keris juga terkelompok atas dua tipe, polos dan berpembungkus/berpendok. Sarung ber-pendok terdiri pula atas dua
tipe yakni ber-pendok langsung
dan dua bagian. Pendok dua
bagian dilengkapi dengan dua tipe ragam hias, pada bagian atas terdapat dua
bidang (tengah dan pinggir) masing-masing dilengkapi dengan dua tipe motif
yakni motif tengah dan motif pinggir, sedangkan bidang pendok bagian bawah cukup bervariasi, ada dengan pola horizontal,
diagonal, atau berarah, demikian pula dengan motif isiannya juga cukup
bervariasi. Semua sarung keris dilengkapi dengan labu yang sebagian dihias
dengan berbagai motif hias Bentuk sarung keris Minangkabau hampir sama dengan
sarung keris Jawa. Perbedaan paling nyata terlihat dari bentuk gembo/warangka, ragam hias pendok,
dan labu. Kuat dugaan bentuk gembok dan labu ini pengaruh dari daerah Sulawesi.
Gagang
keris pun terdiri atas dua tipe, vertikal dan horizontal. Masing-masing
tipe terkelompok atas polos dan ada yang beragam hias. Bagi gagang yang beragam
hias dilengkapi dengan berbagai motif hias. Mendak/selot, gagang
juga demikian ada yang polos dan ada pula diberi bungkus. Sebagian labu
berbungkus dilengkapi dengan beberapa motif hias. Pada sebagian keris, selain
memiliki mendak/selot ada yang dilengkapi dengan pembungkus punting yang juga
brmotif hias. Melihat bentuk gagang, terlihat adanya kesamaan dengan
beberapa daerah lain di luar pulau Jawa dan Bali. Kuat dugaan bentuk gagang ini
berasal dari Sulawesi, sementara penamaan motif hias selot/mendak
disesuaikan dengan nama motif hias Minangkabau.
Skin,
Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan
Skin yang sering juga disebut jembio, rambai ayam (berbentuk menyerupai ekor ayam) atau taji ayam, adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya meruncing dengan tajam di salah satu sisi bilahnya.
Skin
mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya
sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur
kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis).
a. struktur
Skin
adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya
dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada
umumnya skin berukuran antara 25-30 cm (skin rambai ayam). Namun, ada pula skin
yang lebih pendek berukuran antara 10-15 cm. Skin berukuran pendek ini biasa
disebut sebagai taji ayam karena bentuknya menyerupai taji seekor ayam jantan
Sarung
skin dahulu terbuat dari kulit sapi atau kambing. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman, sarung skin saat ini banyak yang terbuat dari kulit
sintetis yang pengerjaannya dilakukan oleh penjahit tas kulit. Sedangkan
gagangnya terbuat dari kayu yang keras tetapi liat yang diukir sedemikian rupa
sehingga memiliki nilai seni yang tinggi.
b. nilai budaya
Skin
sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara
lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan
tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan
keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari
proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa
nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam
yang indah dan sarat makna.
Beladau
Beladau adalah belati dari Indonesia. Pisau ini umumnya
dikenal di daerah Sumatera dari Riau
sampai Mentawai. Senjata ini merupakan senjata
tikam dan senjata sayat. Panjang pisau ini biasanya sekitar 24cm. Beladau
memiliki bermata pisau tunggal atau bermata dua,bentuk pisau melengkung. Pisau
dari gagang ke ujung semakin runcing dan melengkung ke suatu titik. Pisau
memiliki punggung pusat. Tepi pemotongan adalah pada sisi cekung dari pisau.
Gagang baladau ini terbuat dari kayu dan mengkilap, dengan ujung yang berbentuk
menonjol seperti kacang. Para selubung biasanya terbuat dari kayu dan berbentuk
oval di bagian lintas tengah.
Kerambit
Berdasarkan sejarah tertulis,
kerambit berasal dari Minangkabau, lalu kemudian dibawa oleh para perantau
Minangkabau berabad yang lalu dan menyebar ke berbagai wilayah, seperti Jawa,
Semenanjung Melayu dan lain-lain. Menurut cerita rakyat, bentuk kerambit
terinspirasi oleh cakar harimau yang memang banyak berkeliaran di hutan
Sumatera pada masa itu.
Senjata
di sebagian besar kawasan nusantara, pada awalnya merupakan alat pertanian yang
dirancang untuk menyapu akar, mengumpulkan batang padi dan alat pengirikan
padi. Namun berbeda dengan kerambit, ia sengaja dirancang lebih melengkung
seperti kuku harimau, setelah melihat harimau bertarung dengan menggunakan
cakarnya, hal ini sejalan dengan falsafah Minangkabau yang berbunyi Alam
takambang jadi guru. Kerambit akhirnya tersebar melalui jaringan perdagangan
Asia Tenggara hingga ke negara-negara, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar,
Filipina dan Thailand.
Buku
sejarah di Eropa mengatakan bahwa tentara di Indonesia dipersenjatai dengan
keris di pinggang dan tombak di tangan mereka, sedangkan kerambit itu digunakan
sebagai upaya terakhir ketika senjata lain habis atau hilang dalam pertempuran.
Kerambit terlihat sangat jantan, sebab ia dipakai dalam pertarungan jarak
pendek yang lebih mengandalkan keberanian dan keahlian bela diri. Para pendekar
silat Minang, terutama yang beraliran silat harimau sangat mahir menggunakan
senjata ini. Para prajurit Bugis Sulawesi juga terkenal untuk keahlian mereka
dalam memakai kerambit. Saat ini kerambit adalah salah satu senjata utama silat
dan umumnya digunakan dalam seni beladiri.
Dengan
makin populernya seni bela diri Pencak Silat, mulai tahun 1970-an, senjata
inipun semakin populer walaupun berlangsung lambat. Puncaknya pada tahun 2005,
beberapa perusahaan besar AS seperti Emerson Knives dan Strider Knives membuat
pisau kerambit dalam jumlah banyak. Pelopor penggunaan kerambit adalah Steve
Tarani yang mempunyai dasar kerambit dari Silat Cimande Sunda. Saat ini
kerambit telah dikembangkan pihak barat dengan banyak varian.
Di
Indonesia sendiri kerambit di pakai oleh Silat Sumatera seperti Silat
Harimau/Silek Harimau Minangkabau dengan sebutan kurambiak/karambiak. Untuk
kerambit asal Sumatera, catatan tertua yang ditemukan adalah penggunaan
kerambit yang ditulis pada Asian Journal British, July – Dec 1827.
Meskipun
kerambit adalah senjata wajib personel US Marshal, tetapi di Indonesia sendiri
kurang begitu populer. Hal ini dikarenakan senjata ini bersifat senjata rahasia
yang mematikan serta tidak ada upaya pemerintah maupun militer Indonesia dalam
hal ini TNI untuk menggunakan ataupun melestarikannya.
Celurit
Senjata ini melegenda
sebagai senjata yang biasa digunakan oleh tokoh bernama Sakera. Masyarakat
Madura biasanya memasukkan khodam, sejenis makhluk gaib yang menempati suatu
benda, ke dalam celurit dengan cara merapalkan doa-doa sebelum carok. Walaupun
demikian, pada dasarnya fungsi utama senjata ini merupakan salahsatu dari alat
pertanian.
Sejarah
dan Mitos
Celurit diyakini berasal
dari legenda Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi salah satu
tokoh perlawanan terhadap penjajahan belanda pada abad 18 M. Ia dikenal tak
pernah meninggalkan celurit dan selalu membawa/mengenakannya dalam aktivitas
sehari-hari, dimana saat itu digunakan sebagai alat pertanian/perkebunan. Ia
berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan ajaran
agama Islam.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.
Tindakan penjajah tersebut memimbulkan
kemarahan orang-orang Madura sehingga timbul keberanian melakukan perlawanan
terhadap penjajah dengan senjata andalan mereka adalah celurit. Oleh karena
itu, celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri
serta strata sosial.
Jenis dan Ukuran Celurit
Berdasarkan bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi :
- Clurit Kembang Turi
- Clurit Wulu Pitik/Bulu Ayam
Sedangkan ukuran clurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil) sampai ukuran 1 (paling besar)
Struktur Celurit
Jenis dan Ukuran Celurit
Berdasarkan bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi :
- Clurit Kembang Turi
- Clurit Wulu Pitik/Bulu Ayam
Sedangkan ukuran clurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil) sampai ukuran 1 (paling besar)
Struktur Celurit
Umumnya clurit memiliki
hulu (pegangan/gagang) terbuat dari kayu, adapun kayu yang digunakan cukup
beraneka ragam, di antaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu
temoho, dan kayu lainnya. Pada ujung hulu terdapat tali sepanjang 10-15 cm yang
berguna untuk mennggantung/mengikat clurit. Pada bagian ujung hulu biasanya
terdapat ulir/cerukan/cungkilan sedalam 1-2 cm.
Sarung clurit terbuat
dari kulit, biasanya berasal dari kulit kebo yg tebal atau kulit sapi serta
kulit lainya. Sarung Kulit dibuat sesuai dengan bentuk bilah yang melengkung,
dan memiliki ikatan pada ujung sarung dekat dengan gagang sebagai pengaman.
Sarung clurit hanya dijahit 3/4 dari ujung clurit, agar clurit dapat dengan
mudah dan cepat di tarik/dicabut dari sarungnya. Umumnya sarung dihiasi dengan
ukiran/ornamen sederhana.
Bilah Clurit
menggunakan berbagai jenis besi, untuk yang kualitas bagus biasanya digunakan
besi stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil. Sedangkan
untuk kualitas rendah menggunakan baja atau besi biasa. Bilah Clurit memiliki
ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang.
Sebagaian dari clurit juga dibuat ulir setengah lingkaran mengikuti bentuk
bilahnya. Terkadang pada bilahnya terdapat ornamen lingkaran sederhana
sepanjang bilah clurit.
Rencong
Bentuk rencong
berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada
sikunya merupakan aksara Arab Ba, bujuran gagangnya merupaka aksara Sin, bentuk
lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan
aksara Mim, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan
aksara Lam, ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan
bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara Ha.
Rangkain dari aksara
Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi
yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki
ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk
hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong
hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang
dijalan Allah.
Rencong yang ampuh
biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak,
tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan
yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu
ditembusi rencong.
Gagang rencong ada yang berbentuk lurus
dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas
disebut rencong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan
tanduk pilihan.
Bentuk meucungkek
dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia,
karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong
meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang
tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk
memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang
meucungkek tersebut.
Gagang meucungkek itu
juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari
sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan
rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah
karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.
Bentuk meucungkek
dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia,
karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong
meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang
tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk
memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang
meucungkek tersebut.
No comments:
Post a Comment