Friday, September 30, 2016

Perbedaan antara 'Surat Berharga' dengan 'Surat yang Berharga'

image source: google.com


Hukum positif Indonesia memberikan definisi Surat Berharga dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perbankan. Disebutkan bahwa Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari Penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.

Dalam buku 'Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga' karangan Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dijabarkan bahwa surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut.

Diantara 'surat berharga' dengan 'surat yang berharga' terdapat beberapa hal yang membuatnya berbeda satu sama lain. Pada 'surat berharga' memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai alat pembayaran (alat tukar uang), sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana), dan sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi). Selain itu penerbitan dari surat berharga memiliki tujuan sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang.

Sedangkan 'surat yang berharga' diterbitkan bukan sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, melainkan sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas pembayaran 'surat yang berharga' merupakan sekedar sebagai alat bukti diri bagi pemegang bahwa dia sebagai orang yang berhak atas apa yang disebutkan, atau untuk menikmati yang disebutkan di dalam surat itu.

Pada 'surat yang berharga', bagi yang berhak berdasarkan surat tersebut, apabila surat bukti diri itu lepas dari penguasaannya, ia masih dapat memperoleh barang atau haknya itu dengan menggunakan alat bukti lain. Sebagai contoh apabila surat penitipan sepeda motor (karcis parkir) hilang, maka yang berhak masih dapat mengakui spede motornya tersebut dengan menunjukkan STNK atau bahkan BPKB bila diperlukan. Hal ini berbeda dengan 'surat berharga' dimana pada 'surat berharga' apabila suratnya itu lepas dari penguasaan pemegangnya, yang bersangkutan sama sekali tidak dapat mewujudkan hak tagihnya itu.

yang termasuk kedalam 'surat berharga' sebagai contohnya antara lain adalah surat pengakuan hutan, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatif dan surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit (Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998). Sedangkan yang menjadi contoh dari surat yang berharga yaitu ijazah, piagam, sertifikasi, akta otentik, dan lain-lain,


Daftar pustaka:

  1. Muhammad Abdulkadir, 'Hukum Dagang tentang Surat Berharga', Bandung, PT. Citra Adiya CItra Bakti
Ayo LIKE dan SHARE:

Thursday, September 29, 2016

Mahkamah Konstitusi

image source: google.com




Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.



Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.

Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.



Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.

Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.

Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.

                                               baca juga: Komisi Yudisial

Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.


Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.


sumber:

“PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA”  Oleh: Muchamad Ali Safa’at2

Wednesday, September 28, 2016

Pentingnya Definisi Hukum Tata Negara

Pentingnya Definisi Hukum Tata Negara
Sering terjadi perdebatan kecil maupun besar dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu di dalam keluarga, di kantor, di  rumah makan, bahkan dalam perdebatan – perdebatan politik maupun diskusi – diskusi ilmiah dan sebagainya yang diwarnai dengan kekacauan gagasan yang akhirnya satu sama lain saling salah paham terhadap gagasan lawan debat. Sepertinya banyak diantara pendiskusi yang tidak menyadari hal ini dan kenapa terjadi demikian. Hal paling mendasar yang seringkali dilupakan bahkan tidak pernah diketahui sebagian para pendebat adalah pentingnya definisi. Jauh sejak lama hal ini sudah diajarkan oleh Socrates pada abad ke-5. Namun sampai sekarang masih banyak dari kita yang tidak menyadarinya. Hal mengenai definisi inilah yang sering memenangkan Socrates dalam setiap debatnya. Sebenarnya pentingnya sebuah definisi sudah sering diingatkan terus – menerus dalam berbagai kesempatan, namun tetap saja masih banyak yang tidak memahaminya.

Mengapa sebuah definisi begitu penting? Berikut adalah beberapa alasannya:
1.       Sebagai arah pemikiran yang konsisten
Kejelasan definisi memberi arah dan batasan sejauh mana seseorang mengembangkan gagasannya dengan terarah dan tidak membingungkan pembaca atau pendengar.

2.      Setiap pemahaman orang dapat berbeda – beda satu sama lain.
Ada banyak hal yang dapat menimbulkan perbedaan penpadat mengenai definisi hal tertentu. Perbedaan ini memang tidak dapat dipungkiri karena setiap ahli memiliki latar belakang dan pandangan yang berbeda beda satu sama lain.

3.      Definisi yang jelas dan konsisten akan memperkokoh gagasan
Pentingnya definisi yang jelas serta konsisten dalam gagasan tertentu akan bersifat argumentatif atau kokoh. Tulisan yang dikembangkan dari definisi yang jelas dan konsisten akan sangat terarah dan tersistematis dengan baik. Pembaca pun akan mendapat pemahaman yang benar dan jika tulisan tersebut diperdebatkan, maka akan sulit bagi lawan debat untuk mematahkan gagasan penulis karena definisi yang konsisten merupakan pondasi yang kokoh bagi gagasan (gagasan disini adalah goal yang ingin dituangkan atau dicapai).

Hukum Tata Negara sebagai disiplin ilmu tentu saja memiliki definisi yang beraneka ragam dari para ahli maupun pakar yang memang menguasai bidang ilmu tersebut. Penggunaan istilah dan definisi Hukum Tata Negara akan memudahkan untuk mempelajari dan membedakannya dengan istilah dan definisi disiplin ilmu yang memiliki kemiripan.  Sebagai contohnya penggunaan istilah Hukum Negara dimaksud untuk membedakannya dari Hukum Tata Negara dalam arti sempit (staatsrecht in engere zin). Sedangkan bagi pihak lain yang lebih senang mempergunakan istilah Hukum Tata Negara sebagai terjemahan dari staatsrecth, senantiasa menambahkannya dengan istilah dalam arti luas, yang sama artinya dengan pengertian Hukum Negara seperti tersebut di atas, dan dalam arti sempit itu membedakan Hukum Tata Negara dari Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha Negara, atau Hukum Tata Pemerintahan (Administratief recht). Perbedaan prinsipiil dalam penggunaan kedua istilah tersebut di atas pada hakekatnya tidak ada, karena baik Hukum Negara maupun Hukum Tata Negara dalam arti luas mengandung arti yang sama.  Dalam perkembangan selanjutnya, karena alasan-alasan praktis serta mengingat kegiatan-kegiatan yang sangat kompleks yang dilakukan oleh Pemerintah, maka dapat dipastikan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dikemudian hari akan terpisah menjadi dua ilmu pengetahuan yang masing-masing berdiri sendiri. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan yang ada bahwa dibeberapa perguruan tinggi kedua ilmu pengetahuan tersebut diasuh dan diberikan sebagai dua mata pelajaran yang masing-masing terpisah satu sama lain oleh dua pengajar yang berlainan.

Van Vollenhoven membedakan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara dalam perumusan dan definisinya. Ia merumuskan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang menentukan badan-badan kenegaraan serta memberi wewenang kepadanya, dan bahwa kegiatan suatu pemerintahan modern adalah membagi-bagikan wewenang itu kepada badan-badan tersebut dari yang tertinggi sampai yang terendah kedudukannya (menurut Oppenheim rumusan ini sama dengan negara dalam keadaan tidak bergerak). Sementara Hukum Administrasi Negara dirumuskan dengan sekumpulan peraturan hukum yang mengikat badan-badan negara baik yang tinggi maupun yang rendah jika badan-badan itu mulai menggunakan wewenangnya yang ditentukan dalam Hukum Tata Negara (menurut Oppenheim rumusan ini dimisalkan seperti negara dalam keadaan bergerak).

            Contoh lain pentingnya definisi Hukum Tata Negara untuk membedakannya dengan ilmu lain dapat terlihat dari pendapat yang dikemukakan oleh Logemann. Definisinya mengenai Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara memperlihatkan perbedaan diantaranya.

Menurut Logemann, Hukum Tata Negara mempelajari:
§  susunan dari jabatan-jabatan,
§  penunjukkan mengenai pe(n)jabat-pe(n)jabat,
§  tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu,
§  kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan,
§  batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang-orang yang dikuasainya,
§  hubungan antar jabatan,
§  penggantian jabatan,
§  hubungan antara jabatan dan penjabat.

Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis, bentuk, serta akibat hukum yang dilakukan oleh para penjabat dalam melakukan tugasnya.

Di Inggris pada umumnya dipakai istilah “Constitutional Law” untuk menunjukkan arti yang sama dengan Hukum Tata Negara. Penggunaan istilah Constitutional Law didasarkan atas alasan bahwa dalam Hukum Tata Negara unsur konstitusional lebih menonjol. Sebagai variasi dari istilah Constitutional Law tersebut, dijumpai “State Law” yang didasarkan atas pertimbangan bahwa hukum negaranya lebih penting. Di Prancis orang mempergunakan istilah “Droit Administrative”, sedangkan di Jerman untuk istilah Hukum Tata Negara disebut “Verfassungsrecht” dan “Verwaltungsrecht” untuk istilah Hukum Administrasi Negara.

Pada akhirnya pemikiran Socrates tentang pentingnya definisi menjadi hal yang esensi dalam mempelajari sesuatu. Tanpa definisi yang jelas dan konsisten maka perdebatan hanya akan berkutat pada ketidakjelasan. Masih berkaitan dengan hal ini, sudah menjadi hal yang lumrah sebagian dari kita menjadikan kamus/buku sebagai pedoman untuk mendefinisikan sesuatu. Ketika kamus/buku tertentu menjadi pedoman untuk mendefinisikan sesuatu, maka definisi yang lain akan dianggap salah. Ini suatu kesalahan yang sering kali terjadi. Kamus/buku boleh digunakan sebagai pedoman, tetapi bukan sumber mutlak dalam mendefinisikan sesuatu. Setiap istilah atau kata maupun bahasa terus berkembang dan dengan sendirinya kamus/buku juga mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan ilmu, bahasa, hingga cara pandang berdasarkan pengalaman empiris. Setiap orang mempunyai hak untuk mendefinisikan sesuatu. Jadi, hal yang terpenting bukanlah definisi yang kita gunakan apakah sejalan atau sama dengan kamus/buku atau tidak, tetapi yang terpenting adalah seberapa logis dan konsistennyakah kita terhadap definisi tersebut dalam menggunakannya pada suatu gagasan tertentu.

            Definisi bisa disampaikan baik secara eksplisit maupun secara implisit dalam setiap tulisan atau gagasan. Ini hanyalah perbedaan gaya dari setiap penulis atau penggagas. Yang pasti apapun tulisan atau materinya serta gaya menulis atau penyampaian gagasan, kejelasan definisi adalah hal mutlak yang tak mungkin ditolak. Gordon Clark berpendapat terkait pentingnya definisi:

“Pada saat seseorang memutuskan untuk berbicara tentang sesuatu hal, adalah menguntungkan untuk memahami apa yang hendak dibicarakan. Dalam dialog awal Plato,  Socrates mampu membuat lawan-lawannya bingung karena mereka tidak paham apa yang mereka bicarakan. Protagoras tidak mampu mendefinisikan virtue (kebaikan moral). Euthypro tidak dapat mendefinisikan kesalehan, dan Lache, walaupun dia seorang Jenderal Angkatan Bersenjata, tidak mampu mendefinisikan keberanian. Demikian juga filsuf pra Sokrates gagal menguraikan misteri tentang gerak terutama karena mereka tidak paham apa itu gerak.” —Gordon H. Clark, The Works of Gordon Haddon Clark Volume 5, halaman 28

Definisi Hukum Tata Negara
            Berikut adalah definisi mengenai Hukum Tata Negara yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Tata Negara:

1.      van Vollenhoven

Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan rakyatnya dan akhirnya menentukan badan-badan dan fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam lingkungan masyarakat hukum itu, serta menentukan susunan dan wewenangnya dari badan-badan tersebut.

Sebagai murid dari Oppenheim yang terkenal dengan ajaran negara dalam keadaan tidak bergerak untuk menunjukkan kepada Hukum Tata Negara dan negara dalam keadaan bergerak untuk Hukum Administrasi Negara, van Vollenhoven mengikuti jejaknya.

Tata Negara membicarakan masyarakat hukum atasan dan bawahan dan hubungannya menurut hierarki serta hak dan kewajibannya masing-masing. Kesemuanya ini menunjukkan negara dalam keadaan statis.

2. Scholten
        Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dari pada negara. Dengan rumusan seperti itu, Scholten ingin membedakan Hukum Tata Negara dari hukum gereja dan hukum yang mengatur organisasi lainnya yang sifatnya derifatif.  
  
Dari rumusan Scholten ini dapat disimpulkan, bahwa dalam organisasi negara itu telah dicakup bagaimana kedudukan organ-organ dalam negara itu, hubungan, hak dan kewajiban, serta tugasnya masing-masing, akan tetapi tidak dibicarakan lebih lanjut bagaimanakah nasib hak asasi manusia serta kewarganegaraannya yang sangat penting itu.

3.  van der Pot
        Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing-masing, hubungannya satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu (dalam kegiatannya)

      Di samping membicarakan pokok-pokok yang terdapat dalam Hukum Tata Negara, definisi ini menyinggung tentang hubungan dengan warga negara. Bahkan dalam definisi ini telah ditunjuk adanya kegiatan-kegiatan dari negara dalam arti dinamis, yang menurut pendapat terdahulu sebenarnya sudah tidak termasuk dalam Hukum Tata Negara lagi, melainkan sudah menginjak lapangan Hukum Administrasi Negara.

4. Logemann

        Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Menurut Logemann jabatan merupakan pengetahuan yuridis dari fungsi sedangkan fungsi adalah pengertian bersifat sosiologis. Karena Negara merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lainnya serta keseluruhannya, maka dalam arti juridis, Negara merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.

Definisi dari Logemann ini sebenarnya melanjutkan pendapat dari van Vollenhoven dengan pengertian, bahwa Hukum Tata Negara itu meliputi persoonsleer dan gebiedsleer.

5. Apeldoorn
      Hukum Negara dalam arti sempit menunjukkan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya.

      Apeldoorn memakai istilah Hukum Negara dalam arti sempit yang sama artinya dengan istilah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, adalah untuk membedakannya dengan Hukum Negara dalam arti luas — yang meliputi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu sendiri —.

      Apeldoorn tidak banyak membicarakan tentang Hukum Tata Negara kecuali hanya mengenai tugas, hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan negara dan tidak menyinggung tentang kewarganegaraan maupun hak asasi manusia.
6. Wade and Philips

      Dalam bunya Constitutional Law terbitan tahun 1936 ia merumuskan: “Constitutional law is then that body of rules which prescribes the structure the functions of the organs on central and local government.”yang kemudian dalam terbitan tahun 1960 dia mengemukakan, “In the generally accepted of the term it means the rules which regulated the structure of the principal organs of government and their relationship to each other, and determine their principal functions.”

      Walaupun kedua definisi di atas tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipiil, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu dapat menyebabkan seseorang berubah pendapat.

      Wade and Philips dua sarjana Inggris yang bukunya merupakan text book, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antar alat perlengkapan negara itu.

7. Paton
      Paton dalam bukunya “Textbook of Jurisprudence” merumuskan bahwa “Constutional Law deals with the ultimate questions of distribution of legal power and the functions of the organs of the state. In a wide sense, it includes administrative law, buat it is convinient to consider as a unit for many pupose the rules which determine the organization, power, and duties of administrative authorities.”

      Hampir sama dengan definisi di atas Hukum Tata Negara hanya dilihat dari alat perlengkapan negara, tugas dan wewenangnya.


8. A. V. Dicey
      Constitutional Law dirumuskan oleh Dicey dalam bukunya “An introduction to the study of the law of the constitution”, sebagai berikut: “as the term is used in England, appears to include all rules which directly or indirectly affect the distribution or exercise of the souvereign power in the state”.

      Titik berat dari definisi ini terletak pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.

      “All rules” dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai semua ketentuan yang mengatur hubungan antara anggota yang memegang kekuasaan yang tertinggi itu satu dengan lainnya, menentukan kekuasaan yang tertinggi itu dan cara melakukan kekuasaannya.

9. Maurice Duverger
      Hukum Konstitusi adalah salah satu cabang dari hukum publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi politik suatu lembaga negara.

      Seperti di atas telah dijelaskan, Prancis memakai istilah droit constitutionnel untuk Hukum Tata Negara. Dari ilmu pengetahuan hukum sudah diketahui bahwa Hukum Tata Negara adalah bagian dari hukum publik, dan definisi ini hanya menitik beratkan kepada organisasi dan fungsi dari alat perlengkapan negara (lembaga negara).

10. Kusumadi Pudjosewojo

      Dalam bukunya “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia: disebutkan bahwa Hukum Tata Negara adalah “hukum yang mengatur bentuk negara (kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya (hierarchie), yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa) dari masyarakat hukum itu beserta susunan (terdiri dari seorang atau sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.”

      Definisi yang panjang ini sesungguhnya banyak persamaannya dengan definisi van Vollenhoven seperti telah dibicarakan di atas. Walaupun ada penambahan mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan, namun sebagaimana definisi van Vollenhoven, definisi ini juga hanya membicarakan tentang masyarakat hukum, alat perlengkapan negara, wewenangnya, susunan dan hubungan serta tingkatan imbangannya.



Perbandingan dan Persamaan
a dan hak-hak asasinya
Definisi hukum menurut para ahli
Persamaan dari definisi menurut para ahli
Perbedaan dari definisi menurut para ahli
Van der pot
Hukum tata Negara ialah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang di perlikan, wewenang-wewenang masing-masing badan, hubungan antara badan yang satu dengan badan yang lainnya, serta hubungan antara badan-badan itu dengan individu-individu di dalam suatu Negara
Persamaan dari definisi  pendapat para ahli di sini yaitu dalam mengatur hubungan antara badan yang satu dengan badan yang lainnya  
Lebih mengatur badan-badan hukum dan individu-individu dalam suatu Negara
Van Vollenhoven
Hukum tata negara ialah hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasnya dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan masing-masing masyarakat hukum itu menentukan wilayah rakyatnya dan menentukan badan-badan serta fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam masyarakat hukum itu, serta menentukansusunan dan wewenang dari badan tersebut.
Mengatur semua masyarakat hukum dan badan hukum
Mengatur masyarakat dalam suatu wilayah tertentu



Miriam budiardjo
Hukum tata Negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari Negara, hubungan antarlat pelengkap Negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga Negara dan hak-hak asasinya
Mengatur organisasi dari Negara
Menerangkan peraturan organisasi dari Negara, hubungan antara pelengkap Negara dalam garis vertical dan horizontal, serta menerangkan kedudukan warga Negara dan hak-hak asasinya
Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H.
Hukum tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk Negara (kesatuan federal), dan bentuk pemerintahan (kerjaan atau republik), yang menunjukan masyarakat-masyarakat hukum yang atas maupun yang bawah, beserta tingkat-tingkat (hierarchie), yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa) dari masyarakat hukum itu, beserta susunan (terdiri dari seorang atau sejumlah orang), wewenang tingkatan penimbangan dari dan antara alat-alat perlengkapan itu.   
Mengatur dari masyarakat hukum seluruhnya
Lebih menerangkan kepada bentuk organisasi Negara dan bentuk pemerintahan serta masyarakat hukum atas maupun bawah
Logemann
Hukum tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi Negara.
Mengatur organisasi Negara
Mengatur organisasi Negara yang berupa jabatan atau lapangan pekerjaan



Beberapa definisi tersebut menunjukkan bahwa antara para ahli Hukum Tata Negara masih terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan ini antara lain disebabkan karena masing-masing ahli berpendapat, bahwa apa yang mereka anggap penting akan menjadi titik berat dalam merumuskan arti Hukum Tata Negara. Akan tetapi juga perbedaan pendapat itu disebabkan karena pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berlainan.  Beberapa penyebab timbulnya perbedaan pendapat tersebut dapat juga dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman empiris yang dialami oleh masing-masing ahli.

Namun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir semua definisi membicarakan tentang organisasi negara dan alat-alat perlengkapan negara, susunan, wewenang dan hubungannya satu dengan yang lainnya.

Tidak mustahil jika setiap definisi mempunyai kekurangan karena terlalu luasnya ruang lingkup Hukum Tata Negara, sehingga ada sarjana yang merasa tidak perlu memberikan definisi, karena ia yakin bahwa dengan rumusan kata-kata yang singkat sukar diperoleh pengertian yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan Hukum Tata Negara.

Bagaimanapun juga suatu definisi perlu dirumuskan sebagai pedoman supaya uraian selanjutnya tidak melebihi dan tidak kurang dari apa yang telah dirumuskan itu.


Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka Hukum Tata Negara dapat diruuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya.





Daftar Pustaka:
  • Ibrahim, Hermaily., & Moh., Kusnardi. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”
Sumber Lainnya:

Komisi Yudisial

Pada tahap awal pembentukannya, Komisi Yudisial (KY) mendapat sambutan positif dari kalangan Mahkamah Agung (MA). Setidaknya, sambutan itu dapat dibuktikan Pidato Ketua MA Bagir Manan pada Rakernas Mahkamah Agung (MA), Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA se-Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005. Pada kesempatan itu Bagir Manan mengatakan: “Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji hakim.”

Namun ketegangan mulai muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah kota Depok. Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan hasil pemilihan Walikota Depok. Menilai ada kejanggalan dalam penyelesaian kasus Depok, KY memeriksa hakim yang menangani kasus tersebut. Menemukan sejumlah kejanggalan, KY merekomendasikan MA untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana.

Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggang waktu satu bulan agar MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY (Kompas, 08/09-2005). Tidak hanya pada kasus Depok, KY menenggarai terjadi misconduct dalam putusan illegal logging Pontianak dan vonis kasus dugaan korupsi dana perumahan DPRD Banten. Bahkan dalam kasus Edwar C.W. Neloe KY juga memeriksa anggota dan ketua majelis hakim perkara tersebut karena memutus Neloe dengan putusan bebas.

Sepak-terjang KY dalam melakukan pengawasan mendapat perlawanan terbuka dari kalangan hakim. Perlawanan itu dimulai dalam bentuk mempersoalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, pengabaian beberapa rekomendasi KY yang disampaikan kepada MA, dan beberapa tindakan lain yang menunjukkan pembangkangan terhadap KY. Puncak dari itu semua, mayoritas Hakim Agung (31) orang mengajukan permohonan hak menguji materiil pasal-pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta pasal-pasal pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim. Melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, MK mengabulkan hampir semua permohonan tersebut. Lalu, bagaimana memperkuat pengawasan KY setelah putusan MK? Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan karena Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Implikasi Putusan MK

            Kalau ditelaah secara mendalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, sulit dibantah bahwa putusan tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam upaya pembaruan peradilan di negeri ini. Diantara sejumlah implikasi yang cukup relevan dengan tulisan ini dikemukakan berikut ini.

            Pertama, judicial corruption. Salah satu kekhawatiran banyak kalangan yang concern  terhadap dunia peradilan adalah Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut akan semakin menyuburkan praktek korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption). Meminjam bahasa Denny Indrayana (2006), Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 akan menumbuh-kembangkan praktik mafia peradilan. Selama ini, sudah menjadi rahasia umum dalam penyelesaian sebuah perkara, permainan uang dapat dikatakan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Tegasnya, jual-beli hukum sudah mulai terjadi sejak dari proses penyelidikan sampai ke tahap pelaksanaan putusan hakim.

            Kedua, terjadi kekosongan hukum (ditingkat undang-undang) mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Bisa jadi, denngan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, pengawasan hakim kembali mengandalkan pengawasan internal. Padahal, selama ini pengawasan internal dianggap tidak optimal dalam mengawasi praktek menyimpang di kalangan hakim. Kalau dibaca risalah perubahan UUD 1945, salah satu alasan mendasar (raison d’etre) membentuk KY karena pengawasan internal sulit diandalkan untuk menjaga perilaku hakim. Karenanya, perlu ada pengawasan eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

            Ketiga, Hakim Konstitusi tidak lagi berada dalam ranah pengawasan KY. Dengan putusan tersebut, terjadi diskriminasi dalam pengawasan hakim karena Hakim Konstitusi dikecualikan dari pengawasan KY. Padahal, jika dibaca semangat pembaruan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, semua hakim berada dalam pengawasan KY. Dengan mengeluarkan Hakim Konstitusi dari pengawasan KY, pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan: siapa yang seharusnya mengawasi sembilan orang hakim tersebut? Padahal dalam posisi MK sebagai the guardian of the constitution dengan kekuasaan yang amat besar, Hakim Konstitusi juga berpotensi melanggar prinsip during good behaviour.

            Dengan menyatakan Hakim Konstitusi tidak menjadi bagian pengawasan KY, banyak kalangan menilai bahwa Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 menabrak asas “seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri” (nemo judex idoneus in propria causa). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Apalagi, Pasal 29 ayat (5) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, seorang hakin atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berpekara.

            Karena dainggap melanggar salah satu asas dalam hukum acara, banyak kalangan mulai mempertanyakan eksistensi MK. Bahkan di DPR, sebagian kalangan mulai mewacanakan untuk meninjau ulang kewenangan MK. Misalnya, berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2005), banyak catatan atau ketidaksukaan yang nyata dari anggota DPR tersebut: “Bagaimana mungkin putusan sembilan orang bisa mengalahkan produk 550 orang?” (Bivitri Susanti, 2006). Meski hampir tidak mungkin mengurangi kewenangan MK ditingkat undang-undang, menguatnya wacana ini di kalangan legislator harus tetap dijadikan catatan tersendiri.

Hubungan MA-KY: Suatu Mekanisme Check and Balances

            Kunci dari keberadaan KY adalah menjaga mekanisme check and balances  dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, walaupun KY bukan sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, tetapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. KY merupakan lembaga negara baru yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Lembaga ini seharusnya memiliki kedudukan yang setara dengan MA. Namun, hubungan yang konstruktif itu terjalin apabila, kewenangan KY tidak memeriksa bunyi keputusan hakim, tetapi memeriksa proses pengambilan keputusan sesuai tidak dengan hukum acara, moral, perilaku dan ada atau tidak unsur-unsur penyuapan atau KKN.

            Sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya dalam Pasal 24B UUD 1945, terbentuknya KY tidak lain dimaksudkan untuk menjamin terciptanya rekruitmen hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitas sebagai seorang hakim, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Perekrutan hakim agung selama ini dianggap terlalu “politis” dan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dijaga dan ditegakkan oleh kalangan internal kehakiman sendiri dianggap sebagai dua hal yang menjadi kendala bagi terciptanya gagasan negara hukum, baik dalam tradisi rule of law maupun rechstaat, yaitu kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).



            Disamping itu, kehadiran KY dimaksudkan agar independensi kekuasaan kehakiman tidak berarti kekuasaan yudikatif yang tidak terkontrol. Tanpa pengontrol dan pengimbang dari lembaga eksternal bisa mengarah kepada tirani kekuasaan yudikatif, atau format ketatanegaraan yang sama buruknya dengan tirani eksekutif dan tirani legislatif.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...