Saturday, May 10, 2014

Fenomena Pengemis Sejahtera



Bab 1.
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang:
Di era globalisasi sekarang ini, arus perputaran uang sangatlah cepat. Perdagangan bebas antar negara, pengaruh arus tren masa kini, serta kecanggihan teknologi dan transportasi yang terus berkembang semakin memudahkan manusia dalam meggerakan roda perekonomian.

            Hal ini dapat  berdampak positif bagi perekonomian suatu negara apabila negara tersebut memiliki kesiapan yang matang baik dalam sumber daya manusia maupun alamnya. Karena dengan begitu negara tersebut dapat meraup keuntungan yang besar dari arus perekonomian dunia yang begitu pesat. Namun sebaliknya, hal ini justru dapat menimbulkan cultural shock apabila negara tersebut tidak siap dalam menghadapi globalisasi. Dampak yang dapat ditumbulkan dari ketidaksiapan ini salahsatunya adalah kemerosotan perekonomian negara yang berakibat meningkatnya angka kemiskinan.

            Kemiskinan di negara-negara berkembang seperti Indonesia masih menjadi masalah krusial yang sejak dulu sangat sulit untuk diberantas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan kemiskinan adalah situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yg sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.

Kemiskinan merupakan gejala sosial yang dapat menimbulkan masalah-masalah baru apabila tidak diatasi dengan baik. Masalah yang dapat timbul diantaranya adalah peningkatan angka kriminalitas, timbulnya pemukiman kumuh, serta maraknya pengemis-pengemis terutama di kota-kota besar.

Kebenaran mengenai pengemis ternyata ditopang oleh kenyataan masa lalu. Dibuktikan dari asal-usul pembentukan kata pengemis itu sendiri, seperti dapat ditemui dalam buku “Khasanah Bahasa dalam Kata per Kata” karya Prof. Gorys Keraf. Berikut ini adalah sejarahnya:

Di masa Nusantara, terutama di tanah Jawa masih dipimpin oleh raja-raja, para penguasa memiliki kebiasaan membagi-bagikan sedekah kepada yang tak berpunya. Kegiatan ini di Jawa menjadi semacam ritual tersendiri yang dilaksanakan menjelang datangnya hari Jum’at. Maka setiap hari Kamis Sultan keluar dari istananya berjalan kaki menuju Masjid Raya, diringi para pengawal, dielu-elukan rakyat di kedua sisi jalan sambil tertunduk pasrah mengharap berkah dari sang Raja.

Raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bersedekah secara langsung kepada rakyatnya. Biasanya ia memberi uang tanpa ada satu orangpun yang terlewat. Kebiasaan yang berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa jawanya Kemis), maka dari situ lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah Raja di hari Kemis dengan sebutan NGEMIS. Jadi kata pengemis bukanlah kata yang mendapat sisipan em. Kata benda ini adalah unsur serapan yang berdiri sendiri. Kemudian ternyata penggunaannya mengalahkan kata peminta-minta. Padahal kata pengemis kalau diurai dan diambil dari kata dasarnya yakni kemis akan membingungkan. (isminov)

            Fenomena mewabahnya pengemis sebagai akibat dari gejala kemiskinan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sudah banyak fakta yang menunjukkan bahwa mengemis dipilih sebagai cara instan dalam mencari profesi utama untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena mereka-mereka yang menjadikan mengemis sebagai profesi menimbulkan mental pemalas dan tidak mau berkerja keras dan hanya ingin meraup keuntungan dengan memanfaatkan rasa iba seseorang.


1.2 Rumusan masalah:
Dari latar belakang diatas, untuk lebih memfokuskan pembahasan mengingat apa yang akan dijadikan topik pembahasan adalah tentang fenomena pengemis, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah antara lain:
1.     Faktor apa yang menyebabkan timbulnya mental pengemis?
2.     Bagaimana cara menyikapi fenomena ini agar tidak semakin parah?
3.     Ke mana kita harus menyalurkan hasrat untuk membantu sesama agar tidak salah sasaran?


1.3 Tujuan dan Manfaat:
  1. Menyadari akan adanya penyimpangan sosial dalam fenomena pengemis
  2. Memahami cara menyikapi fenomena pengemis
  3. Dapat membedakan antara yang benar-benar tidak mampu dengan yang hanya berpura-pura
  4. Memiliki pandangan bagaimana cara menyalurkan niat untuk membantu sesama

Bab 2.
Pembahasan

Pengemis saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Kenapa orang mau menjadi pengemis, kenapa sepertinya pengemis tidak pernah habis-habis bahkan mungkin terus bertambah, kenapa mereka bisa menjadi pengemis terus menerus selama bertahun-tahun dan tidak pernah berubah. Itulah segelintir pertanyaan yang ada dibenak saya, sekejam itukah dunia ini sehingga orang yang 'miskin' sampai harus terus mengemis untuk memenuhi hak hidupnya.

Mungkin ini hanya pendapat saya saja bahwa mereka yang mengemis itu telah menjadikan bahwa mengemis itu sebagai pekerjaan atau profesi mereka. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Itu semua kembali kedalam diri kita masing-masing. Akan tetapi apabila ditanya apakah mereka mau menjadi pengemis, dapat dipastikan semuanya menjawab tidak mau. Kondisi ekonomi merekalah yang memaksa untuk mengemis. Alasan itu dapat kita maklumi ketika mereka sudah berupaya untuk bekerja keras meminta bantuan orang lain seperti melamar pekerjaan, meminjam sejumlah dana untuk modal usaha dan sebagainya, tetapi tetap belum membuahkan hasil. Sedangkan di sisi lain  kebutuhan jasmani mutlak harus dipenuhi segera. Akan tetapi hal tersebut tidaklah bisa dijadikan alasan untuk terus menerus mengemis selama bertahun-tahun. Setelah kebutuhan jasmani tercukupi sementara, seharusnya mereka mencoba lagi untuk mencari pekerjaan selayaknya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia di alam ini yang memiliki akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan tubuh untuk bekerja.

Memang terkadang hati ini sedih melihat mereka terutama yang sudah lanjut usia masih meminta-minta. Akan tetapi tak jarang pula kita dibuat geram ketika pengemis tersebut ternyata masih berbadan sehat dan muda yang selayaknya akal pikiran dan tenaga yang masih dimilikinya itu digunakan untuk bekerja keras.

Bila dipertimbangkan lebih lanjut, dengan kita memberikan receh kepada mereka (terutama yang masih muda dan kuat) itu bukanlah membantu namun justru semakin menjerumuskan mereka kedalam mental peminta dan pemalas. Bayangkang saja, ketika satu orang/rumah memberikan Rp.100,- saja dikalikan 500 orang/rumah yang diminta, dalam satu hari mereka bisa memperoleh Rp.50.000 dikalikan 1 bulan mereka mampu mendapatkan uang sebesar Rp.1.500.000,- bersih tanpa modal apapun. Jumlah yang tidak sedikit dan itupun bila setiap orang hanya memberikan Rp. 100. Bagaimana jika lebih? Atau jumlah rumah yang dikunjungi lebih banyak? Sudah pasti mereka para pengemis lebih kaya dari pada mereka yang bekerja keras sebagai buruh misalnya, yang dari pagi hingga sore hari tak jarang sampai malam banting tulang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tak jarang kita melihat di televisi bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta, mereka para pengemis memiliki kehidupan yang bisa dibilang layak seperti memiliki rumah, kendaraan, bahkan alat komunikasi seperti HP. Pertanyaannya adalah layakkah mereka kita golongkan sebagai pengemis dan dibantu? Sebuah artikel mengenai kemiskinan pernah membahas bahwa ada seorang anak remaja seusia anak SMA yang tidak mau bersekolah, dan lebih memilih mengemis di lampu merah karena mendapat uang dibandingkan harus sekolah yang baginya membosankan. Masih pada artikel yang sama, ketika seorang pemilik rumah makan menawarkan seorang ibu yang rutin hampir setiap hari mengemis di daerah tempat ia membuka usahanya untuk bekerja di rumah makannya sebagai pencuci piring. Dan tidak disangka, jawaban ibu itu sungguh menyayat hati: 'gak mau ah mas nanti tangan saya lecet-lecet kena sabun gajinya juga kecil lebih enak lagi ngemis' ujar ibu tersebut.

Belum lama ini bahkan mencuak ke khalayak publik sebuah berita yang cukup mencengangkan mengenai unjuk rasa yang dilakukan oleh kalangan gelandangan pengemis dan anak jalanan di Bandung. Mereka menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk diperkejakan sebagai penyapu jalanan. "Kalau mau dipekerjakan seperti itu, apakah bapak siap menggaji sesuai dengan kebutuhan mereka? Apakah bapak bisa menggaji mereka Rp 4 juta sampai Rp 10 juta. Kalau hanya gaji Rp 700 ribu tidak akan cukup," ujar Priston salah seorang orator dari Gerakan Masyarakat Djalanan (GMD).

Menurut sebagian masyarakat khususnya warga Bandung, permintaan Gepeng tersebut tak masuk akal karena mereka hanya dianggap sebagai pemalas dan tak mau bekerja keras untuk mendapatkan uang. Sebelumnya Pemerintah Kota Bandung sudah menjamin tempat tinggal dan makan bagi gelandangan pengemis dan anak jalanan bila mentaati kebijakan ini. Namun mereka tetap menolak dan menanggapi hal ini dengan dingin.


Bab 3
Penutup


3.1 Simpulan dan Saran:
 Lalu bagaimanakah cara menyikapi fenomena ini agar tidak semakin parah? Bila kita tidak menginginkan pengemis terus meraja-lela di negara ini, bantulah mereka dengan memberikan pekerjaan, bukan dengan uang. Uang hanyalah kita berikan dengan sepantasnya saja dan kepada mereka yang memang membutuhkan bantuan finansial seperti modal usaha. Akan tetapi, alangkah lebih mulianya bila kita memberikan bantuan berupa ilmu, keterampilan, ataupun motivasi agar mereka dapat hidup mandiri. Bantuan semacam ini selain akan lebih bermanfaat untuk mereka, secara tidak langsung juga mendatangkan berkah kepada kita karena ilmu yang bermanfaat bagi sesama adalah salahsatu bekal kita di akhirat kelak.

Selain dengan memberikan bantuan baik berupa materi ataupun keahlian, mental mereka juga harus dibenahi. Rasa malu yang sudah menipis dan wujud ketiadaan pengabdian kepada Sang Pencipta itulah yang menyebabkan mereka terus menerus melakukan kegiatan mengemis tersebut.

Kita mungkin juga turut andil dengan membiarkan mereka seperti itu ketika memberikan receh kita dengan niat beramal. Tidak ada yang salah dengan niat kita tersebut akan tetapi menurut saya lebih baik kita membantu kepada mereka yang jelas-jelas membutuhkan bantuan kita seperti keluarga kita, tetangga, sahabat, atau orang yang paling dekat dengan lingkungan kita, yang kita ketahui sangat layak dibantu terlebih dahulu dibanding mereka yang di jalan-jalan atau yang ke rumah-rumah yang tidak kita ketahui  latar belakangnya. Terkadang timbul di benak kita rasa menyesal setelah membantu mereka jika bantuan kita itu disalahgunakan, dan justru akan menjadikan mereka pemalas atau uang tersebut digunakan untuk maksiat seperti membeli minuman keras.

Bila kita memang benar-benar ingin membantu, salurkanlah bantuan itu dengan tepat sasaran. Masih banyak masjid-masjid yang membutuhkan dana besar untuk pembangunan maupun renovasi. Panti-panti sosial yang menampung mereka yang sebatang kara juga membutuhkan suntikan dana yang tidak sedikit untuk dapat menghidupi penghuninya. Lihatlah sekitar kita, bantulah kerabat atau tetangga kita yang hidup seorang diri sebagai yatim piatu.

Pengemis memang sudah ada dari dahulu kala, karena itulah agama kita juga memerintahkan kita untuk membantu mereka para kaum fuqaradan masakin. Akan tetapi bantuan yang memanjakan mereka saya rasa agama juga tidak berkenan. Apalagi saat ini agama sering dijadikan tameng sebagian dari mereka para pengemis untuk meminta-minta. Lihat saja ketika ada even-even keagamaan, pastilah para pengemis tersebut membanjiri tempat-tempat ibadah dan tak jarang mereka juga suka 'mengkambing-hitamkan' agama dengan menambahkan embel-embel ayat suci ataupun doa dalam kegiatan mengemis mereka. Tanpa bermaksud membenci mereka yang terpaksa mengemis untuk melanjutkan hidup, hanya saja saya geram melihat mereka yang masih mampu dalam fisik maupun akal pikiran untuk mencari pekerjaan, justru memilih mengemis sebagai profesi.


Daftar Pustaka:

  • buku “Khasanah Bahasa dalam Kata per Kata” karya Prof. Gorys Keraf.
  • Artikel oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia
  • KASKUS
  • KOMPAS
  • Detik

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...