Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang:
Di era globalisasi sekarang ini, arus
perputaran uang sangatlah cepat. Perdagangan bebas antar negara, pengaruh arus
tren masa kini, serta kecanggihan teknologi dan transportasi yang terus
berkembang semakin memudahkan manusia dalam meggerakan roda perekonomian.
Hal ini dapat berdampak positif bagi perekonomian suatu
negara apabila negara tersebut memiliki kesiapan yang matang baik dalam sumber
daya manusia maupun alamnya. Karena dengan begitu negara tersebut dapat meraup
keuntungan yang besar dari arus perekonomian dunia yang begitu pesat. Namun
sebaliknya, hal ini justru dapat menimbulkan cultural shock apabila negara tersebut tidak siap dalam menghadapi
globalisasi. Dampak yang dapat ditumbulkan dari ketidaksiapan ini salahsatunya
adalah kemerosotan perekonomian negara yang berakibat meningkatnya angka
kemiskinan.
Kemiskinan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia masih menjadi masalah krusial yang sejak dulu
sangat sulit untuk diberantas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
dimaksud dengan kemiskinan adalah situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat
memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yg sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
Kemiskinan merupakan gejala sosial
yang dapat menimbulkan masalah-masalah baru apabila tidak diatasi dengan baik.
Masalah yang dapat timbul diantaranya adalah peningkatan angka kriminalitas,
timbulnya pemukiman kumuh, serta maraknya pengemis-pengemis terutama di
kota-kota besar.
Kebenaran mengenai pengemis ternyata ditopang
oleh kenyataan masa lalu. Dibuktikan dari asal-usul pembentukan kata pengemis
itu sendiri, seperti dapat ditemui dalam buku “Khasanah Bahasa dalam Kata per Kata” karya Prof. Gorys Keraf. Berikut
ini adalah sejarahnya:
Di masa Nusantara, terutama di tanah Jawa
masih dipimpin oleh raja-raja, para penguasa memiliki kebiasaan membagi-bagikan
sedekah kepada yang tak berpunya. Kegiatan ini di Jawa menjadi semacam ritual
tersendiri yang dilaksanakan menjelang datangnya hari Jum’at. Maka setiap hari
Kamis Sultan keluar dari istananya berjalan kaki menuju Masjid Raya, diringi
para pengawal, dielu-elukan rakyat di kedua sisi jalan sambil tertunduk pasrah
mengharap berkah dari sang Raja.
Raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk
bisa bersedekah secara langsung kepada rakyatnya. Biasanya ia memberi uang
tanpa ada satu orangpun yang terlewat. Kebiasaan yang berlangsung setiap hari
Kamis (dalam bahasa jawanya Kemis), maka dari situ lahirlah sebutan orang yang
mengharapkan berkah Raja di hari Kemis dengan sebutan NGEMIS. Jadi kata
pengemis bukanlah kata yang mendapat sisipan em. Kata benda ini adalah unsur
serapan yang berdiri sendiri. Kemudian ternyata penggunaannya mengalahkan kata
peminta-minta. Padahal kata pengemis kalau diurai dan diambil dari kata
dasarnya yakni kemis akan membingungkan. (isminov)
Fenomena mewabahnya pengemis sebagai
akibat dari gejala kemiskinan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sudah banyak
fakta yang menunjukkan bahwa mengemis dipilih sebagai cara instan dalam mencari
profesi utama untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena
mereka-mereka yang menjadikan mengemis sebagai profesi menimbulkan mental
pemalas dan tidak mau berkerja keras dan hanya ingin meraup keuntungan dengan
memanfaatkan rasa iba seseorang.
1.2 Rumusan
masalah:
Dari latar belakang diatas, untuk
lebih memfokuskan pembahasan mengingat apa yang akan dijadikan topik pembahasan
adalah tentang fenomena pengemis, maka penulis merumuskan beberapa rumusan
masalah antara lain:
1.
Faktor
apa yang menyebabkan timbulnya mental pengemis?
2.
Bagaimana cara menyikapi fenomena ini agar
tidak semakin parah?
3.
Ke mana kita harus menyalurkan hasrat untuk
membantu sesama agar tidak salah sasaran?
1.3 Tujuan dan Manfaat:
- Menyadari akan
adanya penyimpangan sosial dalam fenomena pengemis
- Memahami cara
menyikapi fenomena pengemis
- Dapat membedakan
antara yang benar-benar tidak mampu dengan yang hanya berpura-pura
- Memiliki pandangan
bagaimana cara menyalurkan niat untuk membantu sesama
Bab 2.
Pembahasan
Pengemis saat ini sudah menjadi
bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Kenapa orang mau menjadi pengemis,
kenapa sepertinya pengemis tidak pernah habis-habis bahkan mungkin terus
bertambah, kenapa mereka bisa menjadi pengemis terus menerus selama
bertahun-tahun dan tidak pernah berubah. Itulah segelintir pertanyaan yang ada
dibenak saya, sekejam itukah dunia ini sehingga orang yang 'miskin' sampai
harus terus mengemis untuk memenuhi hak hidupnya.
Mungkin ini hanya pendapat saya saja
bahwa mereka yang mengemis itu telah menjadikan bahwa mengemis itu sebagai
pekerjaan atau profesi mereka. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Itu semua
kembali kedalam diri kita masing-masing. Akan tetapi apabila ditanya apakah
mereka mau menjadi pengemis, dapat dipastikan semuanya menjawab tidak mau. Kondisi
ekonomi merekalah yang memaksa untuk mengemis. Alasan itu dapat kita maklumi
ketika mereka sudah berupaya untuk bekerja keras meminta bantuan orang lain
seperti melamar pekerjaan, meminjam sejumlah dana untuk modal usaha dan
sebagainya, tetapi tetap belum membuahkan hasil. Sedangkan di sisi lain kebutuhan jasmani mutlak harus dipenuhi
segera. Akan tetapi hal tersebut tidaklah bisa dijadikan alasan untuk terus
menerus mengemis selama bertahun-tahun. Setelah kebutuhan jasmani tercukupi
sementara, seharusnya mereka mencoba lagi untuk mencari pekerjaan selayaknya
sebagai manusia, makhluk yang paling mulia di alam ini yang memiliki akal untuk
berpikir, hati untuk merasa, dan tubuh untuk bekerja.
Memang terkadang hati ini sedih
melihat mereka terutama yang sudah lanjut usia masih meminta-minta. Akan tetapi
tak jarang pula kita dibuat geram ketika pengemis tersebut ternyata masih
berbadan sehat dan muda yang selayaknya akal pikiran dan tenaga yang masih
dimilikinya itu digunakan untuk bekerja keras.
Bila dipertimbangkan lebih lanjut,
dengan kita memberikan receh kepada mereka (terutama yang masih muda dan kuat)
itu bukanlah membantu namun justru semakin menjerumuskan mereka kedalam mental
peminta dan pemalas. Bayangkang saja, ketika satu orang/rumah memberikan
Rp.100,- saja dikalikan 500 orang/rumah yang diminta, dalam satu hari mereka
bisa memperoleh Rp.50.000 dikalikan 1 bulan mereka mampu mendapatkan uang
sebesar Rp.1.500.000,- bersih tanpa modal apapun. Jumlah yang tidak sedikit dan
itupun bila setiap orang hanya memberikan Rp. 100. Bagaimana jika lebih? Atau
jumlah rumah yang dikunjungi lebih banyak? Sudah pasti mereka para pengemis
lebih kaya dari pada mereka yang bekerja keras sebagai buruh misalnya, yang
dari pagi hingga sore hari tak jarang sampai malam banting tulang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Tak jarang kita melihat di televisi
bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta, mereka para pengemis memiliki
kehidupan yang bisa dibilang layak seperti memiliki rumah, kendaraan, bahkan
alat komunikasi seperti HP. Pertanyaannya adalah layakkah mereka kita golongkan
sebagai pengemis dan dibantu? Sebuah artikel mengenai kemiskinan pernah
membahas bahwa ada seorang anak remaja seusia anak SMA yang tidak mau bersekolah,
dan lebih memilih mengemis di lampu merah karena mendapat uang dibandingkan
harus sekolah yang baginya membosankan. Masih pada artikel yang sama, ketika
seorang pemilik rumah makan menawarkan seorang ibu yang rutin hampir setiap
hari mengemis di daerah tempat ia membuka usahanya untuk bekerja di rumah
makannya sebagai pencuci piring. Dan tidak disangka, jawaban ibu itu sungguh menyayat
hati: 'gak mau ah mas nanti tangan saya lecet-lecet kena sabun gajinya juga
kecil lebih enak lagi ngemis' ujar ibu tersebut.
Belum lama ini bahkan mencuak ke
khalayak publik sebuah berita yang cukup mencengangkan mengenai unjuk rasa yang
dilakukan oleh kalangan gelandangan pengemis dan anak jalanan di Bandung.
Mereka menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk diperkejakan
sebagai penyapu jalanan. "Kalau mau dipekerjakan seperti itu, apakah bapak
siap menggaji sesuai dengan kebutuhan mereka? Apakah bapak bisa menggaji mereka
Rp 4 juta sampai Rp 10 juta. Kalau hanya gaji Rp 700 ribu tidak akan
cukup," ujar Priston salah seorang orator dari Gerakan Masyarakat Djalanan
(GMD).
Menurut sebagian masyarakat
khususnya warga Bandung, permintaan Gepeng tersebut tak masuk akal karena
mereka hanya dianggap sebagai pemalas dan tak mau bekerja keras untuk
mendapatkan uang. Sebelumnya Pemerintah Kota Bandung sudah menjamin tempat
tinggal dan makan bagi gelandangan pengemis dan anak jalanan bila mentaati
kebijakan ini. Namun mereka tetap menolak dan menanggapi hal ini dengan dingin.
Bab 3
Penutup
3.1 Simpulan dan Saran:
Lalu bagaimanakah cara
menyikapi fenomena ini agar tidak semakin parah? Bila kita tidak menginginkan pengemis terus meraja-lela di
negara ini, bantulah mereka dengan memberikan pekerjaan, bukan dengan uang. Uang
hanyalah kita berikan dengan sepantasnya saja dan kepada mereka yang memang
membutuhkan bantuan finansial seperti modal usaha. Akan tetapi, alangkah lebih
mulianya bila kita memberikan bantuan berupa ilmu, keterampilan, ataupun
motivasi agar mereka dapat hidup mandiri. Bantuan semacam ini selain akan lebih
bermanfaat untuk mereka, secara tidak langsung juga mendatangkan berkah kepada
kita karena ilmu yang bermanfaat bagi sesama adalah salahsatu bekal kita di
akhirat kelak.
Selain dengan memberikan bantuan
baik berupa materi ataupun keahlian, mental mereka juga harus dibenahi. Rasa
malu yang sudah menipis dan wujud ketiadaan pengabdian kepada Sang Pencipta
itulah yang menyebabkan mereka terus menerus melakukan kegiatan mengemis
tersebut.
Kita mungkin juga turut andil dengan
membiarkan mereka seperti itu ketika memberikan receh kita dengan niat beramal.
Tidak ada yang salah dengan niat kita tersebut akan tetapi menurut saya lebih
baik kita membantu kepada mereka yang jelas-jelas membutuhkan bantuan kita
seperti keluarga kita, tetangga, sahabat, atau orang yang paling dekat dengan
lingkungan kita, yang kita ketahui sangat layak dibantu terlebih dahulu
dibanding mereka yang di jalan-jalan atau yang ke rumah-rumah yang tidak kita
ketahui latar belakangnya. Terkadang
timbul di benak kita rasa menyesal setelah membantu mereka jika bantuan kita
itu disalahgunakan, dan justru akan menjadikan mereka pemalas atau uang
tersebut digunakan untuk maksiat seperti membeli minuman keras.
Bila kita memang benar-benar ingin
membantu, salurkanlah bantuan itu dengan tepat sasaran. Masih banyak
masjid-masjid yang membutuhkan dana besar untuk pembangunan maupun renovasi.
Panti-panti sosial yang menampung mereka yang sebatang kara juga membutuhkan
suntikan dana yang tidak sedikit untuk dapat menghidupi penghuninya. Lihatlah
sekitar kita, bantulah kerabat atau tetangga kita yang hidup seorang diri
sebagai yatim piatu.
Pengemis memang sudah ada dari
dahulu kala, karena itulah agama kita juga memerintahkan kita untuk membantu
mereka para kaum fuqaradan masakin. Akan tetapi bantuan yang memanjakan mereka
saya rasa agama juga tidak berkenan. Apalagi saat ini agama sering dijadikan
tameng sebagian dari mereka para pengemis untuk meminta-minta. Lihat saja
ketika ada even-even keagamaan, pastilah para pengemis tersebut membanjiri
tempat-tempat ibadah dan tak jarang mereka juga suka 'mengkambing-hitamkan'
agama dengan menambahkan embel-embel ayat suci ataupun doa dalam kegiatan
mengemis mereka. Tanpa bermaksud membenci mereka yang terpaksa mengemis untuk
melanjutkan hidup, hanya saja saya geram melihat mereka yang masih mampu dalam
fisik maupun akal pikiran untuk mencari pekerjaan, justru memilih mengemis sebagai
profesi.
Daftar Pustaka:
No comments:
Post a Comment