Tuesday, November 22, 2016

BIOGRAFI: ADNAN BUYUNG NASUTION, ADVOKAT DAN PEMBELA HAM



"Saya cepat iba. Saya terlalu memperhitungkan kedudukan rakyat kecil yang lemah tanpa pembela. Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang?"

Adnan Buyung Nasution merupakan segelintir praktisi hukum yang peduli dengan rakyat kecil. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diprakarsai Abang, panggilan akrabnya, sebenarnya sudah ia lontarkan pada rezim Soekarno. Tapi, gagasannya ditolak karena dianggap terlalu liberal. Ia malah dirumahkan hingga 1966. Alasannya, ia dituduh anti Manipol.

Laki-Iaki kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934 ini adalah anak pejuang. Ayahnya ikut bergerilaya pada zaman revolusi. R. Rachmad Nasution adalah wartawan yang pernah memimpin LKBN Antara, direktur Times of Indonesia, dan eks ketua umum SPS (Serikat Pekerja Suratkabar). Saat Agresi Militer Belanda II, 1947, seluruh harta keluarganya dirampok Belanda hingga mereka jatuh melarat. Ibunya, H. Ramlah Dongur Lubis sampai harus berjualan cendol di pasar Kranggan, Yogyakarta. Sejak kecil semangat kebangsaan Nasution sudah tampak. Saat masih SMPj ia sudah ikut demonstrasi aksi pelajar menentang pembukaan sekolah NICA di Yogyakarta.

Ia sempat merasakan bangku pendidikan di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Di Bandung, ia hanya setahun kuliah di Jurusan Teknik Sipil ITB. Ia keluar dengan alasan bosan menggambar batu. Di Yogyakarta, Nasution tercatat sebagai mahasiswa Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, UGM. Ia juga keluar dari UGM. Akhirnya Nasution mantap mempelajari ilmu hukum di Universitas Indonesia. Ia sempat kuliah sambil bekerja sebagai jaksa dan kepala hubungan masyarakat Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Sebagai jaksa ia sudah akrab dan selalu tersentuh dengan para "terdakwa" dari masyarakat bawah yang tidak mempunyai pembela. Nasution berhenti menjadi jaksa pada 1968 dan mulai intens dalam misi advokasi terhadap kaum tertindas. Ia mendirikan Adnan Buyung Nasution & Associates pada tahun 1969. Dua tahun kemudian, LBH berdiri.
Sikap empati Nasution terhadap rakyat kecil, membuahkan tuduhan subversi. Setelah dipenjara pada era Soekarno dengan tuduhan anti-Manipol, ia juga pernah dipenjara rezim Orde Baru gara-gara peristiwa Malari pada 1974. Izin advokatnya pun dicabut sementara, menyusul tuduhan contempt of court yang dilakukannya saat membela H.R. Dharsono. Kantornya harus gulung tikar gara-gara kasus.ini. Ia kembali aktif di LBH setelah menuntaskan program doktornya di Universitas Utrecht Belanda pada 1992. Tetapi, ia malah II dipecat" Dewan Pengurus YLBHI karena bersikeras menjadi anggota Tim Advokasi Perwira TNI yang sedang diperiksa oleh KPPHAM.

Kehidupannya memang penuh liku dan kontroversi.

sumber: buku "100 Tokoh yang Mengubah Indonesia" karya Floriberta Aning S

Friday, November 18, 2016

Regulasi Terkait dengan Jenis-jenis Surat Berharga di Pasar Modal


1. Saham
a) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
- Pasal 1 angka 1: memberikan penjelasan yang menyatakan bahwa saham adalah bagian dari modal dasar Perseroan. Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

- Pasal 31 ayat (1): sama halnya seperti pada Pasal 1 angka 1, Pasal 31 ayat (1) juga memberikan keterangan bahwa saham adalah bagian dari modal dasar Perseroan. Bunyi pasalnya yaitu: “Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.”

- Pasal 7 ayat (2): berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa saham adalah penyertaan modal yang dimasukkan oleh subjek hukum ke dalam suatu Perseroan Terbatas pada saat pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Bunyi Pasalnya yaitu: “Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.”

- Pasal 51: dalam UU PT setiap subjek hukum yang menguasai saham disebut dengan Pemegang saham. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya

- Pasal 52 ayat (1): Dalam pasal tersebut disebutkan tentang hak-hak apa saja yang dimiliki oleh Pemegang saham, antara lainnya menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT.

b) Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

INPRES No. 8 Tahun 2002 memberikan beberapa instruksi-instruksi khusus yang ditujukan kepada Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan; Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; Para Menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; Jaksa Agung Republik Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Aturan tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utan/APU.

Instruksi-instruksi yang diberikan dilengkapi dengan beberapa pedoman-pedoman pelaksanannya untuk kemudian dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab serta secara berkala atau sewaktu-waktu memberikan laporan kepada Presiden.

c) KEPPRES No. 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing untuk Diberi Perlakuan yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri  jo. KEPPRES No. 50 Tahun 1987 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing untuk Diberi Perlakuan yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri

KEPPRES ini dikeluarkan dengan latar belakang untuk lebih meningkatkan minat penanaman modal pada umumnya, dan untuk lebih mendorong peningkatan pemilikan saham oleh swasta nasional dalam perusahaan yang dibentuk dalam rangka penanaman modal asing pada khususnya.

Ketentuan yang ditetapkan di dalamnya yaitu mengenai syarat minimal persentase kepemilikan saham atas Perusahaan Penanaman Modal Asing oleh Negara dan/atau swasta ataupun yang dijual melalui pasar modal

2. Waran
a) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Pasal 1 angka 4 POJK tersebut memberikan definisi Waran sebagai Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek dimaksud diterbitkan.

POJK ini juga memberikan batasan terhadap jumlah Waran yang akan diterbitkan dan Waran yang telah beredar dalam hal penambahan modal disertai dengan penerbitan Waran. Aturan tersebut dicantumkan dalam Pasal 6.
Terdapat juga larangan terhadap Perusahaan Terbuka untuk melakukan penyesuaian jumlah Waran beserta dengan pengecualiannya dalam hal terjadi pemecahan saham atau penggabungan saham.

b) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-26/PM/2003 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Dalam aturan ini memberikan definisi dari Waran yaitu Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih sejak diterbitkannya Waran tersebut.

Terdapat juga pembatasan persentase Waran yang dapat diterbitkan oleh perusahaan dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran disampaikan

c) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-09/PM/2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.D.3 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.

Dalam peraturan tersebut disebutkan hal-hal yang wajib disajikan oleh Perusahaan Publik dalam hal penerbitan Waran. Hal ini tercantum dalam angka 12 yang antara lainnya rasio konversi; tanggal dimulai dan diakhirinya konversi tersebut; harga konversi; nilai terakhir, jika hak konversi tidak dilaksanakan; informasi tentang Waran yang bersifat tetap atau yang tergantung pada suatu kondisi (jika ada); dan perubahan rasio konversi sebagai akibat adanya pertambahan jumlah modal disetor, saham bonus, dividen saham atau pemecahan saham; faktor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi likuiditas Waran tersebut termasuk perkiraan jumlah pemegang Waran, dan likuiditas saham yang mendasarinya serta rencana pencatatan Efek di Bursa Efek tersebut (jika ada).

3) Efek Beragun Aset (EBA)
a) Keputusan Direksi KPEI No. Kep-001/DIR/KPEI/0210

Peraturan ini memberikan definisi dari EBA yaitu Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang portfolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen, Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut.

Disebutkan juga peraturan-peraturan dari KPEI lainnya yang mengatur mengenai tata cara kliring dan penjaminan penyelesaian bursa EBA

b) Peraturan Bapepam Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi berkaitan dengan Efek Beragun Aset

Peraturan ini dikeluarkan dengan latar belakang mendorong pemanfaatan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) sebagai alternatif pendanaan dunia usaha.

Secara keseluruhan inti dari isi peraturan tersebut adalah mengubah ketentuan angka 1 huruf d Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997

c) Peraturan Bapepam Nomor VI.A.2 tentang Fungsi Bank Kustodian berkaitan dengan Efek Beragun Aset;

Peraturan ini mengatur tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Bank Kustodian dalam hal menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan Efek Beragun Aset.

Selain itu terdapat juga poin yang mengatur tentang imbalan jasa yang diperoleh Bank Kustodian sebagaimana ditentukan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang dibayarkan dari aset keuangan portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset

4) Opsi
a) Peraturan Bapepam No.III.E.1 tentang Kontrak Berjangka dan Opsi atas Efek atau Indeks Efek

Pada Pasal 1 huruf e peraturan tersebut memberikan definisi Opsi sebagai hak yang dimiliki oleh pihak untuk membeli atau menjual sejumlah efek pada harga dan dalam waktu tertentu.

Ketentuan lainnya yang juga diatur dalam peraturan ini yaitu syarat-syarat bagi setiap Underlying yang akan dijadikan dasar transaksi Kontrak. Kemudian terdapat juga aturan mengenai struktur isi dari proposal yang diajukan oleh Bursa Efek kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan tertulis.

b) Peraturan Bapepam Nomor II-D tentang Perdagangan opsi saham

Aturan ini dikeluarkan dengan dilatar belakangi untuk memenuhi kebutuhan atas tersedianya instrumen baru yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta dan guna memberikan landasan hukum bagi pelaku pasar dalam melaksanakan aktivitas perdagangan Opsi Saham.

Yang dimaksud Opsi Saham itu sendiri menurut peraturan ini yaitu hak yang dimiliki oleh pihak untuk membeli (call option) dan atau menjual (put option) kepada pihak lain atas sejumlah saham (Underlying Stock) pada harga (Strike Price) dan dalam waktu tertentu.

Pengaturan yang diatur di dalamnya salah satunya tata cara perdagangan Opsi Saham yang terbagi menjadi 10 sub-bab utama dan dari masing-masing sub-bab tersebut terbagi lagi ke dalam poin-poin yg lebih rinci, sehingga aturan mengenai tata cara tersebut cukup menyeluruh dan detail.

Aturan-aturan lainnya yang juga disebutkan dalam peraturan tersebut antara lain mengenai Penyelesaian Transaksi Opsi Saham, Penghentian Perdagangan Opsi Saham, dan Biaya Transaksi

5) Surat Utang Negara (SUN)
a) Undang-undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Urat Negara

Surat Utang Negara (SUN) dan pengelolaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 memberi kepastian bahwa: penerbitan SUN hanya untuk tujuan-tujuan tertentu; pemerintah wajib membayar bunga dan pokok SUN yang jatuh tempo; jumlah SUN yang akan diterbitkan setiap tahun anggaran harus memperoleh persetujuan DPR dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Bank Indonesia; perdagangan SUN diatur dan diawasi oleh instansi berwenang; memberikan sanksi hukum yang berat dan jelas terhadap penerbitan oleh pihak yang tidak berwenang dan atau pemalsuan SUN.

b) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003

Substansi utama dari peraturan ini berisikan penunjukkan Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana oleh Menteri Keuangan. Disebutkan juga Pasal yang mengatur tentang hal-hal apa saja yang dilakukan Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara Tersebut, yaitu menetapkan peraturan yang terkait dengan teknis pelaksanaan lelang sesuai dengan ketentuan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan menyampaikan laporan pelaksanaan lelang kepada Menteri Keuangan.

c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.08/2009 tentang Lelang Pembelian Kembali Surat Utang Negara.

Definisi Surat Utang Negara dalam peraturan ini ialah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.

Aturan tersebut terdiri dari VII Bab dan 22 Pasal yang menjelaskan dengan rinci mengenai Ketentuan Umum (BAB I), Ketentuan dan Persyaratan (BAB II), Penetapan Hasil Lelang (BAB III), Setelmen Lelang (BAB IV), Sanksi (Bab V), Ketentuan Peralihan (BAB VI), dan Ketentuan Penutup (BAB VII)

Latar belakang dari dikeluarkannya peraturan ini ialah untuk lebih meningkatkan pengembangan pasar Surat Utang Negara dan memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Lelang Pembelian Kembali Surat Utang Negara yang terdiri dari Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...