1. Saham
a) Undang-undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
-
Pasal 1 angka 1: memberikan penjelasan yang menyatakan bahwa saham adalah
bagian dari modal dasar Perseroan. Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: “Perseroan
Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.”
-
Pasal 31 ayat (1): sama halnya seperti pada Pasal 1 angka 1, Pasal 31 ayat (1)
juga memberikan keterangan bahwa saham adalah bagian dari modal dasar
Perseroan. Bunyi pasalnya yaitu: “Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh
nilai nominal saham.”
- Pasal 7 ayat (2): berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan
bahwa saham adalah penyertaan modal yang dimasukkan oleh subjek hukum ke dalam
suatu Perseroan Terbatas pada saat pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Bunyi
Pasalnya yaitu: “Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada
saat Perseroan didirikan.”
- Pasal 51: dalam UU PT setiap subjek hukum yang
menguasai saham disebut dengan Pemegang saham. Pasal tersebut menjelaskan bahwa
Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya
- Pasal 52 ayat (1): Dalam pasal tersebut
disebutkan tentang hak-hak apa saja yang dimiliki oleh Pemegang saham, antara
lainnya menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran
dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; menjalankan hak lainnya berdasarkan
UUPT.
b) Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 8
Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah
Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
INPRES
No. 8 Tahun 2002 memberikan beberapa instruksi-instruksi khusus yang ditujukan
kepada Menteri Negara
Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan;
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; Para Menteri anggota Komite Kebijakan
Sektor Keuangan; Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; Jaksa Agung Republik
Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Ketua Badan Penyehatan
Perbankan Nasional.
Aturan tersebut
dikeluarkan dengan tujuan untuk Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam
rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik
yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utan/APU.
Instruksi-instruksi yang
diberikan dilengkapi dengan beberapa pedoman-pedoman pelaksanannya untuk
kemudian dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab serta
secara berkala atau sewaktu-waktu memberikan laporan kepada Presiden.
c)
KEPPRES No. 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam
Perusahaan Penanaman Modal Asing untuk Diberi Perlakuan yang Sama Seperti
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri
jo. KEPPRES No. 50 Tahun 1987 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor
17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan
Penanaman Modal Asing untuk Diberi Perlakuan yang Sama Seperti Perusahaan
Penanaman Modal Dalam Negeri
KEPPRES ini dikeluarkan
dengan latar belakang untuk lebih meningkatkan minat penanaman modal pada
umumnya, dan untuk lebih mendorong peningkatan pemilikan saham oleh swasta
nasional dalam perusahaan yang dibentuk dalam rangka penanaman modal asing pada
khususnya.
Ketentuan yang ditetapkan
di dalamnya yaitu mengenai syarat minimal persentase kepemilikan saham atas
Perusahaan Penanaman Modal Asing oleh Negara dan/atau swasta ataupun yang
dijual melalui pasar modal
2. Waran
a)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal
Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Pasal 1
angka 4 POJK tersebut memberikan definisi Waran sebagai Efek yang diterbitkan
oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham
dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek
dimaksud diterbitkan.
POJK
ini juga memberikan batasan terhadap jumlah Waran yang akan diterbitkan dan
Waran yang telah beredar dalam hal penambahan modal disertai dengan penerbitan
Waran. Aturan tersebut dicantumkan dalam Pasal 6.
Terdapat
juga larangan terhadap Perusahaan Terbuka untuk melakukan penyesuaian jumlah
Waran beserta dengan pengecualiannya dalam hal terjadi pemecahan saham atau
penggabungan saham.
b) Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-26/PM/2003 tentang Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu
Dalam aturan ini
memberikan definisi dari Waran yaitu Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga tertentu untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau
lebih sejak diterbitkannya Waran tersebut.
Terdapat juga pembatasan
persentase Waran yang dapat diterbitkan oleh perusahaan dari jumlah saham yang
telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran
disampaikan
c) Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-09/PM/2000 tentang Perubahan
Peraturan Nomor IX.D.3 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam
Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Dalam peraturan tersebut
disebutkan hal-hal yang wajib disajikan oleh Perusahaan Publik dalam hal
penerbitan Waran. Hal ini tercantum dalam angka 12 yang antara lainnya rasio
konversi; tanggal dimulai dan diakhirinya konversi tersebut; harga konversi;
nilai terakhir, jika hak konversi tidak dilaksanakan; informasi tentang Waran
yang bersifat tetap atau yang tergantung pada suatu kondisi (jika ada); dan
perubahan rasio konversi sebagai akibat adanya pertambahan jumlah modal
disetor, saham bonus, dividen saham atau pemecahan saham; faktor-faktor yang
diperkirakan dapat mempengaruhi likuiditas Waran tersebut termasuk perkiraan
jumlah pemegang Waran, dan likuiditas saham yang mendasarinya serta rencana
pencatatan Efek di Bursa Efek tersebut (jika ada).
3) Efek Beragun Aset (EBA)
a) Keputusan Direksi KPEI
No. Kep-001/DIR/KPEI/0210
Peraturan ini memberikan
definisi dari EBA yaitu Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset yang portfolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan
yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang
timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit
pemilikan rumah atau apartemen, Efek bersifat utang yang dijamin oleh
Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash
Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan
aset keuangan tersebut.
Disebutkan juga
peraturan-peraturan dari KPEI lainnya yang mengatur mengenai tata cara kliring
dan penjaminan penyelesaian bursa EBA
b)
Peraturan Bapepam Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi berkaitan dengan
Efek Beragun Aset
Peraturan ini dikeluarkan
dengan latar belakang mendorong pemanfaatan Efek Beragun Aset (Asset Backed
Securities) sebagai alternatif pendanaan dunia usaha.
Secara keseluruhan inti
dari isi peraturan tersebut adalah mengubah ketentuan angka 1 huruf d Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997
c)
Peraturan Bapepam Nomor VI.A.2 tentang Fungsi Bank Kustodian berkaitan dengan
Efek Beragun Aset;
Peraturan ini mengatur
tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Bank Kustodian dalam
hal menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan Efek Beragun Aset.
Selain itu terdapat juga
poin yang mengatur tentang imbalan jasa yang diperoleh Bank Kustodian
sebagaimana ditentukan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang
dibayarkan dari aset keuangan portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset
4) Opsi
a)
Peraturan Bapepam No.III.E.1 tentang Kontrak Berjangka dan Opsi atas Efek atau
Indeks Efek
Pada Pasal 1 huruf e
peraturan tersebut memberikan definisi Opsi sebagai hak yang dimiliki oleh
pihak untuk membeli atau menjual sejumlah efek pada harga dan dalam waktu
tertentu.
Ketentuan lainnya yang
juga diatur dalam peraturan ini yaitu syarat-syarat bagi setiap Underlying yang
akan dijadikan dasar transaksi Kontrak. Kemudian terdapat juga aturan mengenai
struktur isi dari proposal yang diajukan oleh Bursa Efek kepada Bapepam untuk
memperoleh persetujuan tertulis.
b) Peraturan Bapepam
Nomor II-D tentang Perdagangan opsi saham
Aturan ini dikeluarkan
dengan dilatar belakangi untuk memenuhi kebutuhan atas tersedianya instrumen
baru yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta dan guna memberikan
landasan hukum bagi pelaku pasar dalam melaksanakan aktivitas perdagangan Opsi
Saham.
Yang dimaksud Opsi Saham
itu sendiri menurut peraturan ini yaitu hak yang dimiliki oleh pihak untuk
membeli (call option) dan atau
menjual (put option) kepada pihak
lain atas sejumlah saham (Underlying
Stock) pada harga (Strike Price)
dan dalam waktu tertentu.
Pengaturan yang diatur di
dalamnya salah satunya tata cara perdagangan Opsi Saham yang terbagi menjadi 10
sub-bab utama dan dari masing-masing sub-bab tersebut terbagi lagi ke dalam
poin-poin yg lebih rinci, sehingga aturan mengenai tata cara tersebut cukup
menyeluruh dan detail.
Aturan-aturan lainnya
yang juga disebutkan dalam peraturan tersebut antara lain mengenai Penyelesaian
Transaksi Opsi Saham, Penghentian Perdagangan Opsi Saham, dan Biaya Transaksi
5) Surat Utang Negara (SUN)
a) Undang-undang No. 24
Tahun 2002 tentang Surat Urat Negara
Surat Utang Negara (SUN)
dan pengelolaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 memberi kepastian bahwa:
penerbitan SUN hanya untuk tujuan-tujuan tertentu; pemerintah wajib membayar
bunga dan pokok SUN yang jatuh tempo; jumlah SUN yang akan diterbitkan setiap
tahun anggaran harus memperoleh persetujuan DPR dan dikonsultasikan terlebih
dahulu dengan Bank Indonesia; perdagangan SUN diatur dan diawasi oleh instansi
berwenang; memberikan sanksi hukum yang berat dan jelas terhadap penerbitan
oleh pihak yang tidak berwenang dan atau pemalsuan SUN.
b) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003
Substansi utama dari peraturan
ini berisikan penunjukkan Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang
Surat Utang Negara di pasar perdana oleh Menteri Keuangan. Disebutkan juga
Pasal yang mengatur tentang hal-hal apa saja yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara Tersebut, yaitu
menetapkan peraturan yang terkait dengan teknis pelaksanaan lelang sesuai
dengan ketentuan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan; dan menyampaikan laporan pelaksanaan lelang kepada
Menteri Keuangan.
c)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.08/2009 tentang Lelang Pembelian
Kembali Surat Utang Negara.
Definisi Surat Utang
Negara dalam peraturan ini ialah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi
Negara.
Aturan tersebut terdiri
dari VII Bab dan 22 Pasal yang menjelaskan dengan rinci mengenai Ketentuan Umum
(BAB I), Ketentuan dan Persyaratan (BAB II), Penetapan Hasil Lelang (BAB III),
Setelmen Lelang (BAB IV), Sanksi (Bab V), Ketentuan Peralihan (BAB VI), dan
Ketentuan Penutup (BAB VII)
Latar belakang dari
dikeluarkannya peraturan ini ialah untuk lebih meningkatkan pengembangan pasar
Surat Utang Negara dan memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Lelang
Pembelian Kembali Surat Utang Negara yang terdiri dari Obligasi Negara dan
Surat Perbendaharaan Negara.