Hukum pidana
indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.
Pidana Pokok
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Pidana kurungan
d.
Pidana denda
2.
Pidana Tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai
kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada
berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan
terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap
pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat
dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan
sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP
menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Menurut Tolib Setiady
(2010 : 77) perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.
Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan
kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu
terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini
ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.
Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan
sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah
fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan
terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis,
261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.
Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu
tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan
hakim dapat dijalankan.
Berikut ini
penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
1. Pidana
Pokok
a. Pidana
Mati
Sebagaimana
yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP yaitu :
“pidana mati dijalankan oleh algojo di
tempat gantunngan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di
dalam negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak
yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124
ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4)
KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana
mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9, 10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati
juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau
keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia
terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, 9, 10, dan 14).
baca juga: Pengertian Adil dan Tujuan Hukum serta Sebab-sebab Hukum Ditaati Menurut Ahli
baca juga: Pengertian Adil dan Tujuan Hukum serta Sebab-sebab Hukum Ditaati Menurut Ahli
Apabila
terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan
setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari
Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana
tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati
tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di
dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang
No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)
Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan
maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30
hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak
dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam
pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30
hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah
diberitahukan kepada terpidana.
2)
Jika terpidana dalam tenggang waktu yang
tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut
dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan
perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim
atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8
ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan
penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)
Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan
sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus
dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan
atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa
atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan
dengan memperhatikan kemanusiaan.
b. Pidana
Penjara
Menurut
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib Setiady, 2010 : 91), menegaskan bahwa
“Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”.
Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk
pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
Pidana
penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara
seumur hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan Saleh (Tolib Setiady,
2010 : 92), bahwa :
Pidana
penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana
penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Pidana
seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya
(pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan
P.A.F. Lamintang (1988 : 69) menyatakan bahwa :
Bentuk pidana penjara
adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga
Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata
tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu
tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan
adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa
hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan
dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik,
dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan
lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang
dinyatakan oleh Andi Hamzah (Tolib Setiady, 2010 : 92), yaitu :
Pidana penjara disebut pidana
kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka
bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1)
Hak untuk memilih dan dipilih (lihat
Undang-undang Pemilu). Di negara liberalpun demikian pula. Alasannya ialah agar
kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2)
Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya
ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik.
3)
Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan.
Dalam hal ini telah diperaktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.
4)
Hak untuk mendapat perizinan-perizinan
tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris,
dan lain-lain).
5)
Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6)
Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum
perdata.
7)
Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya
seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan
luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.
8) Beberapa
hak sipil yang lain.
c. Pidana
Kurungan
Sifat
pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan
jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan
bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah
lembaga kemasyaraktan.
Pidana
kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini
ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan
oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati
urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai
mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu
hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau
pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun
empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun
empat bulan”.
Menurut
Vos (A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006 : 289), pidana kurungan pada
dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu :
1)
Sebagai custodia
honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan,
yaitu delic culpa dan beberapa delic
dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit
sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh
yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)
Sebagai custodia
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran,
maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan
khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.
d. Pidana
Denda
Pidana
denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara,
mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang
telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar
sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang
dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang (1984 : 69)
bahwa :
Pidana
denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan
baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda
ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara
alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana
pokok tersebut secara bersama-sama.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik
ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Sebagai mana telah dinyatakan
oleh Van Hattum (Tolib Setiady, 2010 : 104) bahwa :
Hal
mana disebabkan karena pembentuk undang-undang telah menghendaki agar pidana
denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari tindak-tindak pidana yang
sifatnya ringan saja.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat
dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap
terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar
oleh orang atas nama terpidana.
2. Pidana
Tambahan
Pidana
tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan,
tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut
Hermin Hadiati Koeswati (1995 : 45) bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda
dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :
1)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di
samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai
pidana satu-satunya.
2)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan
apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai
ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)
Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan
tetapi hanya diancamkan kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4)
Walaupun diancamkan secara tegas di dalam
perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini
adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau
tidak.
Pidana tambahan sebenarnya bersifat
preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya
hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering
termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a. Pencabutan
Hak-hak Tertentu
Menurut
ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan
suatu putusan pengadilan adalah :
1)
Hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu;
2)
Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)
Hak menjadi penasehat atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)
Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam
hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim
menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1)
Dalam hal pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)
Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu
atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)
Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada
hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang
memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus
ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b. Perampasan
Barang-barang Tertentu
Pidana
perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan,
seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang
tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1)
Barang-barang kepunyaan terpidana yang
diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dapat dirampas;
2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang
tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan
putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam
undang-undang;
3)
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang
yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas
barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak
disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu
tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak
dibayar. Kurungan pengganti
ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini
juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.
c. Pengumuan
Putusan Hakim
Pengumuman
putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan supaya
putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang
lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya
terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim han ya dapat dijatuhkan
dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana
tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan
agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang
pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas
ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di
dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana
tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1) Menjalankan
tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam
waktu perang.
2) Penjualan,
penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau
kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3) Kesembronoan
seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4) Penggelapan.
5) Penipuan.
6) Tindakan
merugikan pemiutang.