Thursday, October 27, 2016

Jenis-Jenis Pidana


Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.    Pidana Pokok
a.    Pidana mati
b.    Pidana penjara
c.    Pidana kurungan
d.    Pidana denda
2.    Pidana Tambahan
a.    Pencabutan hak-hak tertentu
b.    Perampasan barang-barang tertentu
c.    Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Menurut Tolib Setiady (2010 : 77) perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.    Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.    Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.    Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1.    Pidana Pokok
a.    Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP yaitu :
“pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan  pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.

Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9, 10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, 9, 10, dan 14).

baca juga: Pengertian Adil dan Tujuan Hukum serta Sebab-sebab Hukum Ditaati Menurut Ahli

Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan  Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)    Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2)    Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)    Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.

Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.

b.    Pidana Penjara
Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib Setiady, 2010 : 91), menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan Saleh (Tolib Setiady, 2010 : 92), bahwa :
Pidana penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang (1988 : 69) menyatakan bahwa :
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah (Tolib Setiady, 2010 : 92), yaitu :
Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1)    Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberalpun demikian pula. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2)    Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik.
3)    Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah diperaktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.
4)    Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain).
5)    Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6)    Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata.
7)    Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.
8)    Beberapa hak sipil yang lain.

c.    Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga kemasyaraktan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya  satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
Menurut Vos (A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006 : 289), pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu :
1)    Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delic culpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)    Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.

d.    Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Menurut P.A.F. Lamintang (1984 : 69) bahwa :
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Sebagai mana telah dinyatakan oleh Van Hattum (Tolib Setiady, 2010 : 104) bahwa :
Hal mana disebabkan karena pembentuk undang-undang telah menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari tindak-tindak pidana yang sifatnya ringan saja.

Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.

2.    Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut Hermin Hadiati Koeswati (1995 : 45) bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :
1)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)    Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4)    Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.

Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a.    Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah :
1)    Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2)    Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)    Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)    Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)    Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)    Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1)    Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)    Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)    Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b.    Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1)    Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2)    Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3)    Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.
c.    Pengumuan Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim han ya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.

Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1)   Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)   Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3)   Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4)   Penggelapan.
5)   Penipuan.

6)   Tindakan merugikan pemiutang.

Tuesday, October 25, 2016

Senjata Tradisional, Wujud Fisik Kebudayaan

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar. (Koenjtaraningrat)

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu : gagasan, aktivitas, dan artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal) : Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
2.    Aktivitas (tindakan): Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.

3.   Artefak (karya): Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling  konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Artefak hasil dari manusia dalam masyarakat sangat bermacam-macam jenis maupun bentuknya. Setiap artefak tersebut memiliki fungsi masing-masing untuk menunjang kehidupan manusia maupun hanya sekedar ciptaan kesenian semata. Beberapa diantaranya memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan kebudayaan manusia dalam masyarakat masing-masing. Salahsatu contoh dari karya tersebut adalah senjata tradisional.

Dalam setiap masyarakat tertentu ditemukan beraneka macam jenis maupun bentuk senjata tradisional. Keanekaragaman tersebut dilatarbelakangi oleh faktor karakteristik kebudayaan maupun lingkungan masyarakat masing-masing. Bahkan sebuah senjata tradisional dapat juga mencerminkan dengan kuat unsur kebudayaan masyarakat tertentu. Beberapa senjata ada pula yang dianggap keramat dan merupakan pusaka yang penting.

                Di Indonesia kita dapat menemukan beranekaragam senjata tradisional dari masing-masing kebudayaan masyarakat tertentu. Sebagian besar senjata tradisional tersebut dianggap keramat dan memiliki identitas kebudayaan yang kuat. Berikut adalah beberapa senjata tradisional yang ada di Indonesia seperti Kujang, Parang Salawaku, Celurit, Rencong, dan lain sebagainya.


Kujang



Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.

Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyaki. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

     Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.


Parang Salawaku

  
Parang Salawaku adalah sepasang senjata tradisional dari Maluku. Parang Salawaku terdiri dari Parang (pisau panjang) dan Salawaku (perisai) yang pada masa lalu adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Di lambang pemerintah kota Ambon, dapat dijumpai pula Parang Salawaku. Bagi masyarakat Maluku, Parang dan Salawaku adalah simbol kemerdekan rakyat.

Senjata ini dapat disaksikan pada saat menari Cakalele, yaitu tarian yang menyimbolkan kekuatan kaum pria Maluku. Parang di tangan kanan penari melambangkan keberanian sementara salawaku di tangan kiri melambangkan perjuangan untuk mendapatkan keadilan.


Parang Salawaku merupakan kerajinan tangan khas orang Maluku. Parang dibuat dari besi yang ditempa dengan ukuran bervariasi, biasanya antara 90-100 cm. Pegangan parang terbuat dari kayu besi atau kayu gapusa. Sementara itu, salawaku dibuat dari kayu keras yang dihiasi kulit kerang laut.

Kelewang



K(e)lewang adalah pedang bergaya golok bersisi satu dari Indonesia. Dalam hal ukuran, berat dan bentuk kelewang adalah pertengahan antara golok dan kampilan. Ragam pedang berbeda menurut budaya di Indonesia ada kelewang bermata lurus. Namun sebagian besar kelewang bermata lengkung

A. Kelewang Aceh
Selama Perang Aceh, terbukti kelewang milik orang Aceh amat efektif dalam pertarungan satu lawan satu dengan KNIL, sehingga mereka menggunakan hartvanger (sejenis pedang pendek) yang berat, juga disebut kelewang, untuk melawannya. Pasukan bergerak yang bersenjatakan karabin dan kelewang berhasil menekan perlawanan Aceh ketika infanteri tradisional dengan bedil dan bayonet gagal. Sejak itu hingga tahun 1950-an, KNIL, AD, AL, dan polisi Belanda menggunakan cutlass bernama kelewang.

B. Kelewang Sasak (NTB).
Ciri unik terutama pada bentuk bilah yang sedikit membengkok. Pangkal hulu memakai bahan tanduk dan umum-nya di bungkus logam bahan perak. Hulu tipe ini disebut Garuda Mungkur. Di etalase museum NTB terdapat 4 bilah pedang. Tanpa di lengkapi sarung/gandar. Pada sisi bilah di hiasi grafir kaligrafi huruf arab. Konon dipakai sebagai senjata dalam epos sejarah perlawanan terhadap kaum penjajah, Belanda. Bisa jadi rangkaian ayat copas kitabullah yang mungkin menebar aura, bagi penyandang-nya akan tampil lebih berani di medan laga. Entah sekedar kaligrafi ataupun berupa perca racik ajimat.

Di katakan sebagai benda lama yang mungkin terlahir di kisar rentang tahun 1700-1800. Tehnik grafiran yang tertera di jajaran pedang tadi terlalu rapi. Mestinya jika di melihat perkembangan dan tehnologi budaya menulis saat itu, sangat kontras. Antara bilah yang legam dan kerikan/grafiran tehnik dangkal terasa ada beda warna, Huruf arab (hijaiyah) terliat grafir baru. Terlihat nuansa alur terang. Mestinya kalau grafiran tipe lampau biasa agak tidak terlalu rapi. Secara mudah terbaca dan sesuai edar waktu tetap menyatu dengan warna bilahnya.

Tafsiran kedua, beralih pada pengamatan berbagai jenis pedang Sasak yang masih ditemui di-luaran. Baik yang masih tersimpan oleh aseli pemiliknya maupun yang beredar di tangan para penjual barang antic. Sangat jarang, bahkan tidak  terlihat bilah pedang sasak memiliki grafiran kaligrafi arab. Semua selalu bilah polos. Hanya dibedakan pada varian pamor bilah saja. Hasil pola tehnik tempa oleh para empu pembuat-nya. Di kesempatan lain, pernah dikonfirmasi oleh seseorang Lombok Timur, yang selain gandrung di sinyalir beberapa senjata khas Lombok berasal dari sana. Penjelasan singkat. di wilayah sakra konon pedang ini disebut Cacaran.

Namun bagi kalangan komunitas bali, cacaran merujuk pada keris dengan dapur tersendiri. Debut lokal hindu bali yang menyebut dapur pasopati. Entahlah mana yang benar. Karena sesuai perkembangan nuansa budaya begitu banyak faktor akulturasi. Sehingga bisa jadi turut mewarnai juga dalam perkembangan benda etnografis khas sasak-Lombok.

Piso Gaja Dompak


Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional yang berasal dari Sumatera Utara. Nama piso gaja dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang berfungsi untuk memotong atau menusuk, dan bentuknya runcing dan tajam. Bernama gaja dompak karena  berarti ukiran berpenampang gajah pada tangkai senjata tersebut.

            Piso Gaja Dompak, senjata khas suku batak merupakan pusaka kerajaan batak. Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam perkembangan kerajaan Batak. Senjata ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja. Mengingat senjata ini juga merupakan sebuah pusaka kerajaan, senjata ini tidak diciptakan untuk membunuh atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka, senjata ini dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang akan memberikan kekuatan spiritual kepada pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan dan kepemilikan senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja atau dengan kata lain senjata ini tidak dimiliki oleh orang di luar kerajaan.

Belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun, dari hasil penelusuran penulis Piso Raja Dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamaraja I. Hal ini berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos berasal dari tradisi lisan yang tercatat dalam aksara.

Berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, putra bungsu dari Raja Sinambela. Dikisahkan sewaktu pulang dari perjalanan jauh, Bona Ni Onanmen dapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia bermimpi didatangi Roh. Roh itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak anak tersebut akan menjadi raja yang bergelar Sisingamaraja.

Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.

Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.

Di masa remaja, Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, ia menunggu sambil memakan makanan yang suguhkan oleh istri raja. Ketika itu secara tidak sengaja ia mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti moncong babi.

Raja Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu Manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.

Konon, Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan Manghuntal bisa membukanya. Pasca itu Manghuntal benar-benar menjadi raja dengan Sisingamaraja I.  sampai saat ini masyarakat Batak masih mempercayai mitos ini.

Selain sebagai pusaka yang begitu dihormati dan dikultuskan, Piso Gaja Dompak ini memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman berpikir serta kecerdasan intelektual. Tajam melihat permasalahan dan peluang, juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak.

Tersirat bahwa pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam melihat sebuah persoalan. Selalu melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan dan mengambil suatu tindakan sebagai wujud dari 'kecerdasan dan ketajaman berpikir dan meihat persoalan'.

Ukiran berpenampang gajah diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamaraja I. Piso Gaja Dompak adalah lambing kebesaran pemimpin batak, pemimpin batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan.

Menurut hasil wawancara dengan cucu Sisingamaraja XII yaitu Raja Napatar, salah satu sumber menyebutkan bahwa Piso Gaja Dompak berada di Museum Nasional. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa senjata atau pusaka Piso Gaja Dompak berada di salah satu museum di Belanda bersama dengan stempel kerajaan Sisingamaraja. 

Sumpitan

 

Sumpit atau sumpitan (bahasa Kalimantan Tengah: sipet) adalah senjata yang digunakan untuk berburu maupun dalam pertempuran terbuka atau sebagai senjata rahasia untuk pembunuhan diam diam. Penggunaan sumpit yaitu dengan cara ditiup.

Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 200 meter. Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku Dayak Indonesia dan suku suku pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang ditembak melesat ke sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari ikan buntal.

a. sejarah
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.

b. struktur       
Sumpit tradisional terdiri tabung bambu atau kayu yang panjangnya 1-3 m, Sumpit dilengkapi dengan anak sumpit dengan bentuk bulat kira-kira diameternya kurang dari 1 cm. Anak sumpit (damek) dapat terbuat dari bambu yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu yang massanya ringan (dari kayu pelawi). Ini berfungsi supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari buluh. Sedangkan ujung yang lain runcing dan biasanya diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan. Racun terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan dan sampai saat ini masih belum ada penawar racunnya. Sumpit digunakan dengan cara ditiup. Kuat tidaknya napas penyumpit akan menentukan sejauh mana jarak anak sumpit dapat melesat ke sasarannya

c. Sumpit dan anak sumpit
Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dan pada bagian inilah anak sumpit dimasukkan lalu ditiup. Antara Buluh sumpit dan anak sumpit memiliki ketergantungan yang tinggi (saling mendukung). Walaupun buluhnya bagus tetapi anak sumpit dibuat sembarangan maka hasilnya juga kurang memuaskan serta sebaliknya. Artinya kedua saling beperan penting dalam ketepatan mengenai sasaran/mangsa walaupun juga napas penyumpit serta kemahiran juga sangat berperan penting disini.
            
Untuk mencapai sasaran yang tepat dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking.

Keris Minangkabau


Terlahirnya sebuah senjata (alat membunuh dan berburu) pada mulanya tidak terlepas dari fungsi  pakainya yang memang sangat dibutuhkan pada  zamannya. la dapat dijumpai dalam bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang dikenal sekarang. Dari yang berbahan dasar tidak awet sampai kepada material yang tahan lama. Umumnya hasil penelitian para arkeolog menemukan bahwa artefak senjata itu pada awalnya sederhana. Alat ini dibuat dari batu-batuan, kayu-kayuan, gading dan tulang-belulang yang  keras, yang dapat dipertajam. Bentuknya, umumnya sederhana. Kemudian ditemukan material logam yang lebih keras lagi dan lebih efektif untuk menggantikan alat yang sederhana itu. Penemuan logam ini, memperlihatkan taraf penemuan dan pemakaian logam yang berbeda-beda pula. Hal ini memperlihatkan tingkat teknologi mengolah logam yang berbeda titik cairnya, mulai dari yang rendah sampai yang tinggi titik cairnya. Hal ini menginspirasi para arkeolog dan sosiolog untuk membagi temuannya berdasarkan tingkatan ini . Misalnya Soekmono yang membagi secara kronologiy temuan logam ini atas tiga tingkatan zaman yaitu (1)  zaman  tembaga, (2)  zaman  perunggu, dan (3)  zaman  besi (Soekmono, 993:61). Dengan ditemukannya cara mengolah besi yang bersifat keras, kuat dan awet. Maka dapat diciptakan senjata seperti ujung panah, tombak, pisau, parang, pedang, badik, rencong, kujang, keris dan lain sebagainya yang lebih bervariasi bentuknya, karena sifatnya yang keras itu.
            
logam besi adalah bahan utama dari keris. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keris ini juga muncul lebih kemudian, diperkirakan sejalan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini yang membutuhkan bahan besi untuk persenjataan.
           
Namun, Pada masa kini,  keris dipakai sebagai bagian dari  pakaian penghulu Minangkabau, . Mereka memakainya ketika menggelar upacara adat. Keris dijadikan benda ikatan perjanjian adat perkawinan saat melaksanakan peminangan (timbang tando) di samping benda lainnya seperti " cincin pertunangan, kain songket, dan sebagainya. Di berbagai nagari Minangkabau keris juga merupakan bagian dari seperangkat pakaian marapulai (pengantin pria) yang disisipkan di samping pinggang pengantin struktur           
            
Dari hasil analisis dan kajian bentuk  keris Minangkabau dapat diketahui bahwa keris Minangkabau terdiri atas dua tipe yaitu tipe bilahan lurus dan berkelok. Tipe Lurus disebut tarapang dan atau sindorik. Kemudian tipe berkelok dinamakan karieh.
            
Sarung keris juga terkelompok atas dua tipe, polos dan berpembungkus/berpendok. Sarung ber-pendok terdiri pula atas dua tipe yakni ber-pendok langsung dan dua bagian. Pendok dua bagian dilengkapi dengan dua tipe ragam hias, pada bagian atas terdapat dua bidang (tengah dan pinggir) masing-masing dilengkapi dengan dua tipe motif yakni motif tengah dan motif pinggir, sedangkan bidang pendok bagian bawah cukup bervariasi, ada dengan pola horizontal, diagonal, atau berarah, demikian pula dengan motif isiannya juga cukup bervariasi. Semua sarung keris dilengkapi dengan labu yang sebagian dihias dengan berbagai motif hias Bentuk sarung keris Minangkabau hampir sama dengan sarung keris Jawa. Perbedaan paling nyata terlihat dari bentuk gembo/warangka, ragam hias pendok, dan labu. Kuat dugaan bentuk gembok dan labu ini pengaruh dari daerah Sulawesi.
            
Gagang keris pun terdiri atas dua tipe, vertikal dan horizontal. Masing-masing tipe terkelompok atas polos dan ada yang beragam hias. Bagi gagang yang beragam hias dilengkapi dengan berbagai motif hias. Mendak/selot, gagang juga demikian ada yang polos dan ada pula diberi bungkus. Sebagian labu berbungkus dilengkapi dengan beberapa motif hias. Pada sebagian keris, selain memiliki mendak/selot ada yang dilengkapi dengan pembungkus punting yang juga brmotif hias.  Melihat bentuk gagang, terlihat adanya kesamaan dengan beberapa daerah lain di luar pulau Jawa dan Bali. Kuat dugaan bentuk gagang ini berasal dari Sulawesi, sementara penamaan motif hias selot/mendak disesuaikan dengan nama motif hias Minangkabau.

Skin, Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan

 Skin yang sering juga disebut jembio, rambai ayam (berbentuk menyerupai ekor ayam) atau taji ayam, adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya meruncing dengan tajam di salah satu sisi bilahnya.

            
Skin mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis).

a. struktur
Skin adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya skin berukuran antara 25-30 cm (skin rambai ayam). Namun, ada pula skin yang lebih pendek berukuran antara 10-15 cm. Skin berukuran pendek ini biasa disebut sebagai taji ayam karena bentuknya menyerupai taji seekor ayam jantan
           
Sarung skin dahulu terbuat dari kulit sapi atau kambing. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sarung skin saat ini banyak yang terbuat dari kulit sintetis yang pengerjaannya dilakukan oleh penjahit tas kulit. Sedangkan gagangnya terbuat dari kayu yang keras tetapi liat yang diukir sedemikian rupa sehingga memiliki nilai seni yang tinggi.

b. nilai budaya
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam yang indah dan sarat makna.

Beladau
               


Beladau adalah belati dari Indonesia. Pisau ini umumnya dikenal di daerah Sumatera dari Riau sampai Mentawai. Senjata ini merupakan senjata tikam dan senjata sayat. Panjang pisau ini biasanya sekitar 24cm. Beladau memiliki bermata pisau tunggal atau bermata dua,bentuk pisau melengkung. Pisau dari gagang ke ujung semakin runcing dan melengkung ke suatu titik. Pisau memiliki punggung pusat. Tepi pemotongan adalah pada sisi cekung dari pisau. Gagang baladau ini terbuat dari kayu dan mengkilap, dengan ujung yang berbentuk menonjol seperti kacang. Para selubung biasanya terbuat dari kayu dan berbentuk oval di bagian lintas tengah.

Kerambit



Berdasarkan sejarah tertulis, kerambit berasal dari Minangkabau, lalu kemudian dibawa oleh para perantau Minangkabau berabad yang lalu dan menyebar ke berbagai wilayah, seperti Jawa, Semenanjung Melayu dan lain-lain. Menurut cerita rakyat, bentuk kerambit terinspirasi oleh cakar harimau yang memang banyak berkeliaran di hutan Sumatera pada masa itu.

Senjata di sebagian besar kawasan nusantara, pada awalnya merupakan alat pertanian yang dirancang untuk menyapu akar, mengumpulkan batang padi dan alat pengirikan padi. Namun berbeda dengan kerambit, ia sengaja dirancang lebih melengkung seperti kuku harimau, setelah melihat harimau bertarung dengan menggunakan cakarnya, hal ini sejalan dengan falsafah Minangkabau yang berbunyi Alam takambang jadi guru. Kerambit akhirnya tersebar melalui jaringan perdagangan Asia Tenggara hingga ke negara-negara, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina dan Thailand.
            
Buku sejarah di Eropa mengatakan bahwa tentara di Indonesia dipersenjatai dengan keris di pinggang dan tombak di tangan mereka, sedangkan kerambit itu digunakan sebagai upaya terakhir ketika senjata lain habis atau hilang dalam pertempuran. Kerambit terlihat sangat jantan, sebab ia dipakai dalam pertarungan jarak pendek yang lebih mengandalkan keberanian dan keahlian bela diri. Para pendekar silat Minang, terutama yang beraliran silat harimau sangat mahir menggunakan senjata ini. Para prajurit Bugis Sulawesi juga terkenal untuk keahlian mereka dalam memakai kerambit. Saat ini kerambit adalah salah satu senjata utama silat dan umumnya digunakan dalam seni beladiri.
            
Dengan makin populernya seni bela diri Pencak Silat, mulai tahun 1970-an, senjata inipun semakin populer walaupun berlangsung lambat. Puncaknya pada tahun 2005, beberapa perusahaan besar AS seperti Emerson Knives dan Strider Knives membuat pisau kerambit dalam jumlah banyak. Pelopor penggunaan kerambit adalah Steve Tarani yang mempunyai dasar kerambit dari Silat Cimande Sunda. Saat ini kerambit telah dikembangkan pihak barat dengan banyak varian.
            
Di Indonesia sendiri kerambit di pakai oleh Silat Sumatera seperti Silat Harimau/Silek Harimau Minangkabau dengan sebutan kurambiak/karambiak. Untuk kerambit asal Sumatera, catatan tertua yang ditemukan adalah penggunaan kerambit yang ditulis pada Asian Journal British, July – Dec 1827.
            
Meskipun kerambit adalah senjata wajib personel US Marshal, tetapi di Indonesia sendiri kurang begitu populer. Hal ini dikarenakan senjata ini bersifat senjata rahasia yang mematikan serta tidak ada upaya pemerintah maupun militer Indonesia dalam hal ini TNI untuk menggunakan ataupun melestarikannya.

Celurit


Bagi masyarakat Madura, Celurit tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi mereka hingga saat ini. Senjata tradisional ini memiliki bilahnya berbentuk melengkung bentuk bilah inilah yang menjadi ciri khasnya. Celurit menjadi senjata khas suku Madura yang biasa digunakan sebagai senjata carok.

Senjata ini melegenda sebagai senjata yang biasa digunakan oleh tokoh bernama Sakera. Masyarakat Madura biasanya memasukkan khodam, sejenis makhluk gaib yang menempati suatu benda, ke dalam celurit dengan cara merapalkan doa-doa sebelum carok. Walaupun demikian, pada dasarnya fungsi utama senjata ini merupakan salahsatu dari alat pertanian.


Sejarah dan Mitos
Celurit diyakini berasal dari legenda Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan belanda pada abad 18 M. Ia dikenal tak pernah meninggalkan celurit dan selalu membawa/mengenakannya dalam aktivitas sehari-hari, dimana saat itu digunakan sebagai alat pertanian/perkebunan. Ia berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan ajaran agama Islam.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.

Tindakan penjajah tersebut memimbulkan kemarahan orang-orang Madura sehingga timbul keberanian melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan senjata andalan mereka adalah celurit. Oleh karena itu, celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial.

Jenis dan Ukuran Celurit
Berdasarkan bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi :
- Clurit Kembang Turi
- Clurit Wulu Pitik/Bulu Ayam
Sedangkan ukuran clurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil) sampai ukuran 1 (paling besar)

Struktur Celurit
Umumnya clurit memiliki hulu (pegangan/gagang) terbuat dari kayu, adapun kayu yang digunakan cukup beraneka ragam, di antaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan kayu lainnya. Pada ujung hulu terdapat tali sepanjang 10-15 cm yang berguna untuk mennggantung/mengikat clurit. Pada bagian ujung hulu biasanya terdapat ulir/cerukan/cungkilan sedalam 1-2 cm.

Sarung clurit terbuat dari kulit, biasanya berasal dari kulit kebo yg tebal atau kulit sapi serta kulit lainya. Sarung Kulit dibuat sesuai dengan bentuk bilah yang melengkung, dan memiliki ikatan pada ujung sarung dekat dengan gagang sebagai pengaman. Sarung clurit hanya dijahit 3/4 dari ujung clurit, agar clurit dapat dengan mudah dan cepat di tarik/dicabut dari sarungnya. Umumnya sarung dihiasi dengan ukiran/ornamen sederhana.

Bilah Clurit menggunakan berbagai jenis besi, untuk yang kualitas bagus biasanya digunakan besi stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil. Sedangkan untuk kualitas rendah menggunakan baja atau besi biasa. Bilah Clurit memiliki ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang. Sebagaian dari clurit juga dibuat ulir setengah lingkaran mengikuti bentuk bilahnya. Terkadang pada bilahnya terdapat ornamen lingkaran sederhana sepanjang bilah clurit.

Rencong


Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebaga i simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.

Bentuk rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab Ba, bujuran gagangnya merupaka aksara Sin, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara Mim, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam, ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara Ha.

Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah.

Rencong yang ampuh biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu ditembusi rencong.
Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut rencong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk pilihan.

Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.

Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.

Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...